Pada pidato yang diadakan Sabtu (18/3/2023), di Aula Imeri, Kampus UI Salemba, ini Wawaimuli menyebut bahwa tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang dokter dapat menjadi sumber bencana bagi pasien karena tidak ada obat yang sepenuhnya aman.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, sebanyak 1.017.290 masyarakat Indonesia didiagnosis dengan penyakit jantung. Angka pasien yang menderita penyakit kardiovaskular ini terus meningkat setiap tahun. Sebagai contoh, pasien hipertensi, yang diketahui merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular, meningkat dari 25,8 persen pada 2013 menjadi 34,1 persen pada 2018. Dalam jangka panjang, hipertensi akan menyebabkan end organ damage dan berperan dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan tingginya biaya perawatan kesehatan.
Wawaimuli menilai perlunya perkembangan keilmuan di bidang kedokteran yang cepat dalam mengatasi penyakit kardiovaskular, baik dalam diagnosis, pencegahan, maupun tata laksana yang komperhensif. Terapi farmakologis (terapi menggunakan obat) pada penyakit kardiovaskular umumnya menjadi lini pertama dan selanjutnya sebagai kombinasi terhadap berbagai modalitas terapi lainnya. Pasien yang telah menjalani terapi definitif, baik tindakan perkutan atau operasi jantung dan pembuluh darah, sering kali harus minum obat yang sesuai dalam jangka waktu tertentu atau bahkan seumur hidup.
Farmakoterapi yang berhubungan dengan penggunaan obat di klinik, sekarang telah berkembang menjadi disiplin Farmakologi Klinik yang mempelajari secara mendalam farmakodinamik dan farmakokinetik obat. Farmakokinetik adalah apa yang dialami obat dalam tubuh makhluk hidup, seperti absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi. Sementara itu, farmakodinamik berhubungan dengan pengaruh obat terhadap sel hidup, organ, atau makhluk secara keseluruhan. Farmakodinamik dan farmakokinetik obat diteliti terlebih dahulu pada hewan sebelum diteliti pada manusia atau disebut uji klinis.
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis), termasuk bahan herbal, terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologik pada organ terpisah, sel, maupun hewan coba. Jika ditemukan suatu aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat, senyawa yang lolos penyaringan akan diteliti lebih lanjut. Sebelum calon obat baru ini diuji-cobakan pada manusia, dibutuhkan waktu untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, dan efek toksiknya pada hewan coba. Dalam studi farmakokinetik ini, tercakup pula pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa dan metabolitnya dalam cairan biologic untuk memperkecil risiko penelitian bila dilakukan pada manusia.
Beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan hewan coba untuk indikasi penyakit kardiovaskuler. Pertama, carvedilol dan telmisartan (obat untuk indikasi hipertensi) dapat berfungsi dalam mencegah kardiotoksisitas pada tikus yang diterapi dengan antrasiklin (suatu antikanker) melalui penurunan berbagai parameter toksisitas di jantung, sehingga mencegah kejadian gagal jantung akibat kemoterapi yang kerap terjadi pada pasien kanker.
Kedua, senyawa perak yang diformulasikan dalam bentuk nanopartikel dapat memperbaiki berbagai parameter inflamasi yang terjadi pada jantung tikus yang mengalami infark. Ketiga, mangiferin, suatu senyawa yang banyak terdapat di tanaman mangga, terbukti mencegah terjadinya inflamasi dan apoptosis sel jantung melalui penurunan ekspresi gen proapoptosis dan proinflamasi di jantung tikus yang mengalami inflamasi serta memperbaiki kekuatan otot jantung.
Wawaimuli mengatakan bahwa dari hasil yang diperoleh tentu dibutuhkan uji selanjutnya, termasuk keamanan penggunaan jangka panjang pada hewan. Apabila hasil uji pada hewan coba konsisten terkait efek terapi terhadap indikasi tertentu dan dibuktikan aman, uji selanjutnya akan dilakukan pada manusia.
Berkat temuanya tersebut, Prof dr Wawaimuli Arozal MBiomed PharmD dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Prosesi yang dipimpin Rektor UI Prof Ari Kuncoro SE MA PhD ini turut dihadiri oleh Direktur Jendral Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalucia; Direktur Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN) Prof dr Irawan Yusuf PhD; Plt Deputi 1 Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM Togi Junice Hutadjulu; dan Plt Direktur Registrasi Obat, BPOM Desi Eka Putri.
Prof Wawaimuli menyelesaikan di UI pada program S1 Pendidikan Dokter (1993) dan S2 Ilmu Biomedik (2001). Gelar doktornya diperoleh setelah menamatkan studi S3 Pharmaceutical Sciences (Doctor of Pharmacy), Niigata University of Pharmacy and Applied Life Sciences, Niigata, Jepang (2011). Saat ini, ia merupakan staf pengajar di Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, sekaligus Ketua Program Studi Program Magister Ilmu Biomedik FKUI.
Beberapa karya tulisnya yang telah dipublikasikan, antara lain Efek Doksisiklin pada Model Tikus Doca-Salt Hipertensi dengan Gagal Jantung Diastolik (2022); Efek Neuroprotektif Moringa Oleifera pada Disfungsi Kognitif Akibat Stress Kronik, Tinjauan pada Aktivitas Antioksidan, Neuroplastisitas dan Inflamasi (2022); dan Efek Ekstrak Air Herbal Centella Asiatica terhadap Sel Inflamasi Makrofag dan Progresifitas Terjadinya Resistensi Insulin pada Obesitas Secara Ex Vivo maupun In Vivo (2022).