Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI) Mia Siscawati PhD menyebut, banyak faktor menyebabkan tidak meratanya pendidikan di Indonesia, di antaranya adalah faktor ekonomi dan sosial.
Kondisi ekonomi sering kali memaksa anak untuk berhenti sekolah dan membantu keluarganya mencari uang. Ditinjau dari segi sosial, tidak sedikit keluarga mendukung anak laki-lakinya untuk bersekolah lebih tinggi daripada anak perempuan.
Menurut Mia, adanya stereotipe bahwa anak perempuan tidak harus bersekolah, karena kodratnya menjadi istri dan ibu, merupakan salah satu faktor kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini masih menunjukkan adanya kesenjangan gender di dunia pendidikan.
“Gender merujuk pada konstruksi sosial yang mengatur perempuan harus bagaimana dan laki-laki harus bagaimana. Adanya konstruksi sosial ini menjadi masalah dari masa ke masa. Bahkan, ketika perempuan dan laki-laki sudah berada dalam suatu institusi pendidikan yang sama, diskriminasi gender yang disengaja maupun tidak, masih banyak terjadi,” ujar Mia.
Tiga ranah penting
Terkait masalah diskriminasi gender dalam dunia pendidikan, Mia membaginya menjadi tiga ranah, yaitu individual, kultural, dan struktural. Ketiganya saling berkelindan. Masalah struktural, misalnya, dapat dilihat dari belum terciptanya fasilitas pendidikan yang memadai dan mendukung perbedaan kebutuhan antara perempuan dengan laki-laki.
Pada 2020, dalam Profil Sanitasi Sekolah yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), disebutkan bahwa terdapat satu dari tiga sekolah yang tidak memiliki jamban atau toilet terpisah.
“Fasilitas jamban atau toilet yang terpisah merupakan hal sangat penting bagi anak perempuan. Di daerah tertentu, anak-anak perempuan memilih tidak sekolah pada tiga hari pertama mereka menstruasi, karena sangat tidak nyaman di sekolah,” kata Mia.
Sementara itu, dari segi kultural, masyarakat secara tidak sengaja sering menomorduakan anak perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, jika ada kegiatan fisik yang berat, anak perempuan dianggap tidak mampu dan lemah. Selain itu, jika ada pemilihan untuk menjadi pemimpin atau ketua, anak perempuan sering dijadikan orang kedua setelah laki-laki. Masalah struktural dan kultural ini kemudian dinormalisasi melalui internalisasi pada individu.
Mia menilai permasalahan diskriminasi gender di dunia pendidikan harus dituntaskan karena merupakan komponen penting dalam menciptakan kemajuan bangsa. Untuk menghilangkan diskriminasi ini, diperlukan kerja sama dan kesadaran pada setiap individu, baik secara kultural maupun struktural.
Setiap individu harus memperhatikan lingkungannya. Perubahan kultural diperlukan untuk membentuk keyakinan pada masyarakat bahwa sekolah merupakan hal menyenangkan. Ini didukung dengan perubahan struktural melalui penciptaan kondisi dan fasilitas sekolah yang aman dan nyaman. Dengan begitu, kesetaraan gender dalam akses pendidikan dapat tercapai, sehingga Indonesia dapat memiliki sumber daya manusia yang maju dan berkembang.
“Yang harus ambil bagian itu semua yang ada di tingkat individual. Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara untuk mendukung? Kalau kita orang tua, harus memikirkan bahwa anak-anak memang harus lanjut sekolah. Kalau kultural, berarti perubahan budaya, perubahan pola pandang, pola pikir yang bisa terjadi karena individu-individu mulai punya cara berpikir yang lebih maju,” tegas Mia.