Sebelum akrab dengan pinjol, masyarakat lebih dulu diperkenalkan dengan istilah teknologi finansial (financial technology/fintech), yakni jenis layanan keuangan dengan teknologi sebagai basis operasionalnya. Bila merujuk pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), fintech adalah inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi.
Di Indonesia, ada beberapa jenis perusahaan fintech, mulai dari crowdfunding, microfinancing, digital payment system, peer to peer (P2P) lending, dan aggregator. P2P lending adalah layanan pinjam-meminjam uang. Pada 2018, OJK mengumumkan bahwa ditemukan setidaknya ada 227 perusahaan startup P2P lending yang tidak terdaftar di OJK. Pada 2019, OJK mencatat terdapat 127 pinjol terdaftar dan diawasi OJK dan 1.477 pinjol ilegal. OJK mengimbau startup P2P lending atau pinjol wajib melakukan pendaftaran dan mengurus izin ke OJK.
Pinjol yang mula-mula hadir bagai dewa penyelamat, belakangan lebih sering dekat dengan berita negatif akibat mulai banyak korban terbelit utang. Jumlah perusahaan aplikasi pinjol menjamur di masyarakat, terdapat pula aplikasi pinjol yang ilegal atau yang tidak memiliki izin dari OJK. Ditambah pula oleh kurangnya payung hukum yang kuat sehingga membuat layanan pinjol tersebut cenderung beroperasi ke arah negatif.
Data Kominfo mengungkapkan bahwa sepanjang 2019–2021, OJK mencatat lebih dari 19.000 pengaduan masyarakat terkait pinjaman online ilegal. Data tersebut terbagi atas 47 persen pelanggaran berat dan sisanya tergolong pelanggaran ringan/sedang. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan pengguna pinjaman online tertinggi, diikuti oleh Jawa Barat.
Fenomena tersebut disampaikan Karin Amelia Safitri SPd MSi, dosen Program Studi (Prodi) Administrasi Asuransi dan Aktuaria, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia (UI) saat melakukan kegiatan pengabdian masyarakat (pengmas) di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, khususnya di Kelurahan Pulau Panggang, pada 19 Agustus 2023 lalu.
Pengmas dengan tema “Waspada Pinjaman Online Ilegal” diketuai oleh Karin, terdiri atas 3 orang dosen dan 2 mahasiswa. Kegiatan pengmas yang dilakukan dalam 1 hari tersebut ditujukan kepada masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang yang berpenduduk 2.289 orang. Penduduk di pulau seluas 0,09 kilometer persegi ternyata ada yang terbelit pinjol sehingga perlu dicarikan solusi dan pengetahuan agar tetap waspada terhadap pinjol. Mereka diedukasi bahwa jika memang pernah terlibat dengan pinjol ilegal, solusinya adalah membuat pengaduan ke OJK. Lalu, bagi masyarakat lainnya yang belum pernah berurusan dengan pinjol ilegal, mereka mendapat edukasi dari tim Vokasi UI yang membedah ciri-ciri pinjol ilegal.
Karin berpendapat, “Beberapa ciri-ciri pinjaman online ilegal, di antaranya adalah bunga pinjaman yang sangat tinggi, penagihan kasar kepada penerima pinjaman, waktu jatuh tempo pembayaran pinjaman yang tidak sesuai dengan perjanjian di awal, tidak memiliki izin di OJK, serta meminta akses terhadap data pribadi.” Pelaksanaan kegiatan pengmas tersebut diharapkan membawa dampak positif bagi peserta, sehingga mereka menjadi lebih waspada dan cerdas dalam mendeteksi dan memahami bahaya pinjaman daring ilegal. Suryani (45), salah seorang ibu rumah tangga di Pulau Panggang, menyatakan bahwa sosialisasi mengenai bahaya pinjaman online ilegal tersebut memberikan wawasan baru baginya. Ia menuturkan, “Adanya sosialisasi ini membuat kami lebih mawas diri terhadap pinjaman online yang mencurigakan sehingga kami juga tidak terjebak dengan pinjol yang tidak terdaftar di OJK tersebut.”
Direktur Program Pendidikan Vokasi UI Padang Wicaksono SE PhD mendukung program pengmas yang dilakukan di Pulau Panggang tersebut. Menurut Padang, pinjaman online ilegal yang saat ini banyak bermunculan di berbagai iklan dapat membahayakan masyarakat yang belum memiliki cukup pengetahuan tentang risiko di baliknya. “Saya berharap agar masyarakat Pulau Panggang dapat menerima manfaat sebanyak-banyaknya dari program pengmas yang diberikan dosen-dosen Vokasi UI,” ujar Padang.
Baca juga: