Menurut Prof Aji, sektor ekonomi dan budaya di Indonesia dapat lebih berkembang dengan pembelajaran dari Korea Selatan. “Hal ini dapat diwujudkan dengan misalnya, Korean Wave atau Hallyu, telah mendapatkan banyak pengikut di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Popularitas budaya, musik, dan hiburan Korea menghadirkan peluang signifikan untuk kerja sama di sektor budaya, termasuk produksi bersama, pertukaran seniman dan pakar budaya, serta kolaborasi dalam industri ekonomi kreatif.”
Sedangkan Choi mengharapkan bahwa setelah terselenggaranya konferensi tersebut, berbagai sektor yang menjadi topik diskusi dua negara akan bergerak lebih maju. “Sejak tahun 1973, Indonesia dan Korea telah membangun hubungan diplomatik. Diharapkan ke depannya Indonesia-Korea dapat terus menjalin hubungan dengan baik di bidang akademik, politik, budaya dan ekonomi.”
Pada kesempatan tersebut, dihadirkan beberapa narasumber yang membahas perkembangan kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan dalam tiga aspek, yaitu akademik, sosial-budaya, dan diplomasi. Pada aspek akademik, Prof Choi Kyunghee dari Seoul National University Asia Center dan Dr Eva Latifah dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, menilai perlunya melihat bagaimana perkembangan studi Indonesia di Korea dan studi Korea di Indonesia untuk lebih mengenal budaya dari masing-masing negara.
“Strategi perlu disiapkan untuk menjawab berbagai tantangan yang mungkin dihadapi di masa depan. Sebagai bagian dari masyarakat global, saya percaya studi yang mengkaji berbagai elemen budaya kedua negara, terutama studi yang bersifat akademik dan pertukaran pelajar, berperan penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang berdaya saing global,” ujar Prof Choi.
Dari aspek sosial-budaya, Prof Andrew Eungi Kim dari College of International Studies, Korea University, dan Makbul Mubarak yang merupakan seorang sutradara dan screenwriter dari Indonesia, menyoroti dampak sosial dan ekonomi dari adanya budaya populer. Menurut Prof Kim, perkembangan Korean Wave telah berdampak besar di dunia. Salah satu yang berhasil memberi dampak besar ini adalah boyband asal Korea, yaitu BTS.
Pegaruh BTS terlihat dari penggemar yang tersebar di berbagai negara, serta konsernya yang dipenuhi banyak penonton. Korean Wave atau Hallyu tersebut merupakan salah satu sumber terbesar perekonomian Korea. Prof Kim menyebut, selain musik, sektor budaya lain, seperti film, makanan dan kecantikan juga berkembang pesat. “Ini ditandai dengan beauty product dari Korea yang sudah mulai dikenali bahkan dipakai oleh orang di berbagai negara. Jadi, masyarakat dunia menjadi tertarik untuk mengenali Korea. Ini menjadi soft power dari Korea Selatan,” kata Prof Kim.
Pada sesi terakhir, narasumber membahas hubungan diplomasi antara Indonesia dan Korea Selatan. Hubungan Strategis Khusus Korea-Indonesia ini dinilai oleh Prof Cho Wondeuk dari Center for ASEAN-Indian Studies, Korean National Diplomatic Academy, sebagai motivasi dan intensif yang kuat untuk meningkatkan kerja sama di antara kekuatan menengah di wilayah tersebut, khususnya di antara Korea Selatan dan Indonesia. Indonesia bagi negara seperti Korea Selatan merupakan mitra strategis yang sangat diperlukan di Kawasan Indo-Pasifik dalam hal keamanan dan ekonomi.
Menurut Vahd Nabyl, ada beberapa hal terkait sektor potensial dari Indonesia guna dikembangkan bersama Korea Selatan. Pertama, mekanisme pertahanan dan keamanan. Kedua, perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-Korea, termasuk perdagangan barang dan perdagangan jasa. Ketiga, penguatan hubungan bilateral dan peningkatan kerja sama dalam mengatasi permasalahan daerah. Selain itu, keduanya juga dapat mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan negara dan sekitarnya.
Diskusi yang melibatkan akademisi, peneliti, praktisi, dan pemerintah ini juga menghadirkan tiga chair, yaitu Prof Koh Young Hun (Hankuk University of Foreign Studies), Endah Triastuti, Ph.D (FISIP UI), dan Dwi Ardhanariswari Sundrijo, PhD (FISIP UI); serta enam discussant (pembahas), yaitu Prof Shin Young Duk (Universitas Pendidikan Indonesia), Dr Zaini (FIB UI), Prof Rha Kyungsoo (Gakushuin Women’s College, Tokyo), Anggia Utami Dewi, PhD (FISIP Universitas
Padjajaran), Prof Ko Young Kyung (ASEAN Center), dan Prof Evi Fitriani (FISIP UI).