Pada kesempatan itu, Irfan menjelaskan langkah yang ditempuh Garuda Indonesia untuk dapat kembali “terbang tinggi” setelah mengalami masa surut dan terancam bangkrut. Periode itu tidak serta-merta dihadapi maskapai penerbangan pelat merah tersebut. Sejumlah kasus fraud di masa lalu, seperti mark-up, membuat limbung perusahaan karena terbelit utang.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat industri penerbangan berada di titik terendah sepanjang kiprahnya. Menurut Irfan, demi tetap bertahan, perusahaan melakukan berbagai upaya, seperti menunda dan memotong gaji karyawan hingga melakukan program pensiun dini yang dilakukan dengan sangat selektif sesuai kemampuan terbatas. Akan tetapi, upaya tersebut tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Garuda Indonesia harus tetap membayar utang di tengah pemasukan yang tidak pasti. Apalagi, perusahaan ini mulai menghadapi gugatan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang (PKPU) dari krediturnya.
Seiring berjalannya waktu, Garuda Indonesia mulai bangkit melalui restrukturisasi utang, yaitu 50 persen penurunan nilai utang dari 10,1 miliar dolar AS menjadi 5,1 miliar dolar AS. Total revenue meningkat pasca selesainya PKPU yang dikontribusi dari peningkatan total revenue regular, khususnya pendapatan penumpang yang naik seiring dengan pelonggaran persyaratan penerbangan. Total revenue tahun 2022 sebesar 1,3 miliar dolar AS (GA Only) meningkat 57 persen jika dibandingkan dengan tahun 2021 yang hanya sebesar 783 juta dolar AS.
“Dalam mengatasi permasalahan Garuda Indonesia, saya beserta jajaran manajemen lainnya berfokus pada kapabilitas untuk menghasilkan solusi terbaik bahkan di situasi tersulit pun. Kuncinya adalah dengan tidak mengeluh, tetap berpikir positif, tidak menyalahkan keadaan, serta bersikap ceria dan bahagia,” ujar Irfan di akhir pemaparan materinya pada kegiatan yang berlangsung di Auditorium BCA, Kampus MM FEB UI Salemba, pada Jumat (5/5) lalu.