Profesi fisioterapis masih asing bagi sejumlah kalangan masyarakat. Jurusan fisioterapi juga tidak sepopuler jurusan lainnya di mata siswa-siswi saat memilih program studi di bangku perkuliahan.
Berangkat dari tantangan tersebut, Faizah Abdullah SStFt SFt MBiomed, dosen Program Studi Fisioterapi Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI), ingin menjawab tantangannya dan memajukan profesi fisioterapis melalui edukasi. Faizah mulai berkarier di sebuah klinik fisioterapi di Jakarta setelah berhasil menyelesaikan studinya di 2010 pada program Diploma 3 fisioterapi UI.
Pada 2013, ia kemudian memutuskan untuk terjun ke dunia pendidikan sebagai tenaga pengajar di Vokasi UI. Bersamaan dengan kegiatan mengajarnya, Faizah juga tetap menjalani profesinya sebagai fisioterapis yang langsung menangani pasien.
Fisioterapi merupakan suatu pelayanan kesehatan yang mengupayakan pengembangan, pemeliharaan, dan pemulihan gerak dan fungsi dengan menggunakan modalitas fisik, mekanis, atau elektroterapeutis yang ditujukan kepada suatu individu/kelompok.
Faizah mengatakan, terkadang fisioterapi masih sering dilabeli sebagai pijat saja. Stigma tersebut tidaklah benar. Perlu diluruskan bahwa pijat sebenarnya hanya sebagian kecil intervensi dalam pemberian terapi kepada pasien, bahkan sudah sangat jarang digunakan.
“Kenyataannya, banyak treatment lain yang dilakukan oleh fisioterapis dengan mengedepankan intervensi yang berbasis bukti (evidance-based). Sebut saja teknik melatih pasien stroke untuk berjalan, bermacam-macam penggunaan alat elektroterapi, dan lainnya,” ujarnya.
Baca juga : Kandidat Doktor FKG UI Teliti Faktor Keparahan Osteoporosis pada Tulang di Rongga Mulut
Ia juga menjelaskan, fisioterapi memiliki rentang dari promotif berupa edukasi kepada masyarakat sampai dengan rehabilitatif yang merupakan pemulihan. Peluang di dunia fisioterapi sendiri cukup tinggi seiring meningkatnya angka harapan hidup saat ini.
“Tingkat kebutuhan fisioterapi sendiri juga ikut meningkat. Salah satunya adalah fisioterapi lansia. Jadi, lulusan fisioterapi tidak perlu takut karena peluang terbuka luas, baik di rumah sakit, klinik, bahkan praktik pribadi,” ujar Faizah.
Dari sisi keilmuan, Faizah juga aktif menulis penelitian di bidang neurosains, exercise, dan muskuloskeletal. Ia memfokuskan dirinya di bagian muskuloskeletal, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan otot, tulang, sendi, dan jaringan penyusun rangka tubuh lainnya.
Saat ini, ia mulai mendalami ke bagian kesehatan wanita. Kasus-kasus yang berkaitan dengan muskuloskeletal, tapi spesifik hanya dialami oleh wanita. Misalnya, pasien pasca-operasi pengangkatan payudara akibat kanker atau ibu hamil yang memiliki nyeri pinggang.
“Wanita itu kompleks dan perlu dukungan dalam berbagai fase kehidupannya, maka sangat menarik untuk mendalami hal tersebut,” kata Faizah yang pernah mendapat beasiswa untuk mengikuti pelatihan Retooling Kompetensi Dosen Bidang Kesehatan di Melbourne, Australia, ini.
Sebagai dosen Vokasi UI, lanjutnya, pengajaran yang dilakukan memiliki komposisi 70 persen praktik dan 30 persen teori. “Oleh sebab itu, ilmu yang saya sampaikan kepada mahasiswa harus relevan dengan perkembangan terkini. Dengan demikian, saya berusaha mampu menjalankan profesi fisioterapis dan dosen secara bersamaan. Dengan tetap menjalankan praktik fisioterapi, saya juga memperoleh ragam kasus dan perkembangannya dari para pasien,” ujar Faizah menjelaskan kesehariannya sebagai dosen maupun fisioterapis.
Selain mengedukasi para mahasiswa di kampus, Faizah juga berupaya mendekatkan profesi fisioterapis kepada masyarakat. Faizah membentuk kanal edukasi “Get Fit with Physio” di Instagram dan Facebook Fanpage. Melalui Get Fit with Physio, Faizah aktif membagikan informasi-informasi seputar manfaat fisioterapi, aspek-aspek dalam fisioterapi, serta profesi fisioterapis itu sendiri.
Selama bekerja menjadi seorang fisioterapis, terdapat beberapa kendala yang dialami Faizah. “Biasanya ekspektasi dari pasien yang mengharapkan sekali fisioterapi langsung sehat, sedangkan proses penyembuhan enggak seinstan itu. Tergantung dengan kondisi penyakit dan respons tubuh terhadap terapi yang diberikan. Tidak jarang pula pasien yang kurang sabar dengan tindakan terapi yang dilakukan. Menurut Faizah, membangun kepercayaan melalui edukasi dan komunikasi yang baik kepada pasien sangat penting. Selain itu, dibutuhkan kerja sama serta komitmen antara fisioterapis dan pasien agar hasil terapi menjadi optimal,” pungkas Faizah. [*]