Dalam pidato pengukuhannya, Prof Dyah menyebutkan bahwa empat puluh tahun lalu, diabetes melitus yang diderita oleh pasien usia muda identik dengan Diabetes Melitus Tipe 1 (DMT1), sedangkan DMT2 lebih banyak diderita oleh pasien berusia 40 tahun ke atas. Akan tetapi, saat ini persepsi tersebut berubah. Seiring dengan peningkatan prevalensi diabetes melitus di seluruh dunia, terdapat peningkatan prevalensi DMT2 bagi mereka yang berusia 15–39 tahun.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penyandang DMT2 terbanyak di dunia yang menduduki peringkat ke-5 teratas. Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF) 2021, terdapat 19,5 juta penyandang DMT2 di Indonesia dengan proyeksi prevalensi yang terus meningkat sebesar 150 persen dalam 2 dekade ke depan. Tren prevalensi DMT2 pada populasi <45 tahun di Indonesia juga turut meningkat hingga dua kali lipat mulai dari 7,4 persen pada 2007 menjadi 14,7 persen pada 2018.
Penyakit DMT2 pada usia muda bersifat lebih progresif dan menyebabkan kejadian komplikasi kronik lebih dini. Kondisi ini dapat menurunkan produktivitas pada usia kerja dan meningkatkan beban kesehatan jangka panjang. Penyandang DMT2 dengan komplikasi membutuhkan biaya hingga 130 persen lebih tinggi dibandingkan penyandang DMT2 tanpa komplikasi.
Ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko individu mengalami DMT2 pada usia muda. Faktor tersebut meliputi obesitas, genetik dan epigenetik, gaya hidup tidak sehat, serta sosio-kultural. Penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi obesitas, dengan indeks masa tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2, semakin meningkat, pada 2007 sebesar 19,1 persen, tahun 2013 sebesar 28,9 persen, dan tahun 2018 sebesar 35,4 persen. Populasi Asia secara umum memiliki IMT yang lebih rendah dari ras lainnya, namun komposisi lemak tubuh dan lemak visceral cenderung lebih tinggi. Fenomena tersebut mendukung pengaruh faktor etnis terhadap kejadian penyakit kronis seperti DMT2.
Di samping itu, faktor pola hidup dan sosio-kultural juga berkontribusi besar pada kejadian DMT2. Kejadian obesitas yang makin meningkat di Indonesia di antaranya dipengaruhi oleh pola makan dan aktivitas fisik yang kurang sehat. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi konsumsi makanan manis masyarakat Indonesia sebanyak satu hingga enam kali perminggu sebesar 47,8 persen, sedangkan prevalensi konsumsi minuman manis sebanyak >1 kali per hari sebesar 61,3%. Sebanyak 33,5 persen masyarakat Indonesia dikategorikan ke dalam kelompok kurang aktif melakukan aktivitas fisik.
Salah satu populasi yang berisiko mengalami DMT2 ialah kerabat dekat atau kerabat kandung penyandang DMT2. Mereka juga berisiko mengalami DMT2 pada usia muda. Studi yang ada menunjukkan populasi kerabat dekat penyandang DMT2 memiliki gangguan fungsi, baik dari tingkat gen, organel, sel, maupun jaringan yang pada akhirnya memengaruhi fungsi sistem organ yang lebih berat dan lebih dini.
“Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kelompok anak kandung penyandang DMT2 usia muda yang sehat memiliki IMT, lingkar pinggang, dan resistensi insulin lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Populasi ini memiliki risiko lesi pengapuran pembuluh darah, perubahan hormon jaringan lemak, dan perlemakan hati lebih dini. Oleh karena itu, meskipun masih berusia muda dan tampak sehat, fungsi tubuh anak kandung penyandang DMT2 berbeda sehingga diperlukan usaha pencegahan lebih awal,” ujar Prof. Dyah.
Untuk mencegah DMT2 usia muda di Indonesia, Prof. Dyah menyarankan langkah preventif yang cepat, tepat, dan masif. Regulasi dan promosi mengenai batasan konsumsi gula harian, aktivitas fisik, dan deteksi dini gangguan metabolik perlu dilaksanakan untuk mencegah DMT2 pada usia muda. Implementasi regulasi yang ada memerlukan kerja sama dari pemerintah, orang tua maupun pengasuh, guru dan lingkungan sekolah, serta stakeholder. Pencegahan dengan pendekatan berbasis keluarga memegang peran penting, dan ini dapat difokuskan pada kelompok berisiko, seperti populasi anak kandung atau kerabat dekat.
Pengukuhan Prof Dr dr Rr Dyah Purnamasari Sulistianingsih, Sp.PD, K-EMD sebagai Guru Besar FKUI dihadiri oleh Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) Periode 2004–2009 dan 2014–2019, Dr (HC) Drs H Muhammad Jusuf Kalla; Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, SE, MSc, PhD; Direktur Utama RS. Abdi Waluyo, dr Amy So Andriono; dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dr Moh Adib Khumaidi.
Prof Dyah menamatkan pendidikan di FKUI Jakarta untuk Program Studi Pendidikan Dokter (2000), Program Studi Spesialis Ilmu Penyakit Dalam (2006), Program Studi Spesialis Konsultan Endokrinologi Metabolisme dan Diabetes (KEMD) (2014), dan Program Studi Doktor Bidang Ilmu Kedokteran (2015). Beberapa buku dan karya ilmiahnya yang diterbitkan, yaitu Dislipidemia dan Penyakit Kardiovaskular (2022); Metabolic and Immune Response to High-Fat Diet in Healthy Urban Indonesian Males with Family History of Type 2 Diabetes Mellitus (2023); Sarcopenia and Chronic Complications of Type 2 Diabetes Mellitus (2022); Challenges in the Diagnosis of Insulin Resistance: Focusing on the Role of HOMA-IR and Tryglyceride/Glucose Index (2022); Effect of Cholecalciferol Supplementation on Disease Activity and Quality of Life of Systemic Lupus Erythematosus Patients: A Randomized Clinical Trial Study (2022).