Menurut Prof Wiku, penanganan Covid-19 di Indonesia dilakukan menggunakan pendekatan Strategi, Struktur, Sistem, Skill, Speed (5S), dan Target (1T). Target utamanya menjaga kesehatan orang yang sehat, menyembuhkan yang kurang sehat, dan mengobati yang sakit.
“Pendekatan ini kita lakukan secara terstruktur, tersistem, dan masif di daerah-daerah target sasaran kita, mulai dari pusat sampai daerah, dan ternyata ini cukup efektif,” ujarnya.
Hal ini terbukti dari paparan data kasus Covid-19 per 24 maret 2021 yang menunjukkan jumlah penambahan kasus positif di angka kisaran 5.227. Jumlah ini menurun setengahnya dibandingkan pada Februari 2021, yang pernah mencapai angka di atas 10.000 kasus. Jumlah kasus sembuh juga sudah cukup bagus dengan lebih dari 1,3 juta orang mengalami kesembuhan atau sekitar 88,9 persen dari jumlah pasien yang teridentifikasi mengalami Covid-19.
Ia menjelaskan lebih jauh tentang 5S 1T tersebut mulai dari Strategi, yakni mengedepankan tindakan preventif dan promotif untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Selanjutnya pada Struktur adalah adanya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah serta pendekatan pentahelix berbasis komunitas.
Pada pendekatan Sistem berfokus pada manajemen penanganan Covid-19 yang berbasis gotong-royong. Sedangkan pendekatan Skill, dibutuhkan kerja sama dengan peneliti/kepakaran dalam bidang kesehatan masyarakat, epidemiologi, medis, teknologi, alat kesehatan (alkes), ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan lainnya.
Kemudian, pada pendekatan Speed, diperlukan kedisiplinan, komitmen dan militansi, dan rantai komando dari pemerintah pusat sampai ke rukun tetangga (RT)/rukun warga (RW) sebagai kunci kecepatan penanganan. Adapun pada pendekatan Target, tim Satgas Covid-19 memiliki misi membuat yang sehat tetap sehat, yang kurang sehat harus sembuh, dan yang sakit diobati hingga sembuh.
Implementasi dari pendekatan 5S1T ini di tingkat daerah adalah penerapan 3T (tracing, testing, treatment), 3M (menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan), dan upaya vaksinasi. Tiga hal ini adalah bentuk pertahanan triple model yang diharapkan membuat masyarakat tetap dapat beraktivitas secara produktif, tapi tetap aman dari paparan Covid-19.
Upaya penerapan ini dilaksanakan melalui pembatasan interaksi dan gerak sosial melalui program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan pada 10 April 2020–10 Januari 2021, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Tahap 1 pada 11–25 Januari 2021, dan tahap 2 pada 26 Januari–8 Februari 2021. Semua program pembatasan tersebut dilakukan di tingkat pusat dan daerah.
Dari data jumlah kematian harian dan presentase angka kematian di tingkat nasional, Prof Wiku mengungkapkan, jumlahnya terus menurun hingga data terkini diambil per 21 Maret 2021. Jumlah kumulatif kesembuhan harian di Indonesia adalah 1.290.790 dengan 88,40 persen kesembuhan per 21 Maret 2021.
Dari jumlah orang yang diperiksa/telah mengikuti tes Covid-19 per minggu, Indonesia sudah memenuhi target dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 267 juta jiwa, dilakukan pemeriksaan PCR Covid-19 kepada 267.000 orang per minggu. Ia berharap agar ada pemerataan pemeriksaan PCR di daerah.
Lebih lanjut, Prof Wiku memaparkan analisis kematian berdasarkan jenis kelamin dan jumlah komorbid bahwa laki-laki lebih berisiko 1,4 kali dibandingkan perempuan yang meninggal saat terinfeksi Covid-19. Dari data yang disampaikan, risiko kematian pada mereka yang terinfeksi komorbid lebih tinggi dibandingkan yang tanpa komorbid.
Ia juga menyampaikan, dari data analisis kematian berdasarkan usia dan riwayat komorbid, penyakit ginjal merupakan komorbid yang paling berisiko menyebabkan kematian 13,7 kali dibandingkan yang tidak memiliki komorbid. Penyakit jantung 9 kali lebih berisiko menyebabkan kematian, diabetes melitus 8,3 kali lebih berisiko, hipertensi dan penyakit imun 6 kali lebih berisiko; lalu kanker, penyakit hati, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), gangguan napas lain, dan tuberkulosis (TBC).
Menurut Prof Wiku, dalam upaya penanganan ini, data menjadi penting terutama data perilaku, bukan sekadar data korban. “Karena target utama kita saat ini adalah mengendalikan penyebaran virus, bukan hanya menyembuhkan orang yang sudah sakit,” ujarnya.
Untuk itu, Satgas Covid-19 membentuk Posko Covid-19 di tingkat Desa-Kelurahan. Salah satu fungsi posko ini adalah pencegahan dan penyediaan data-data pendukung seperti data logistik, komunikasi, dan administrasi. Struktur desa juga digerakkan dengan cara menempatkan kepala desa dan lurah sebagai ketua posko.
Prof Wiku mengungkapkan, PPKM dinilai cukup efektif untuk menekan bertambahnya jumlah kasus aktif di Indonesia. Setiap minggu, posko ini harus menyerahkan data-data yang dibutuhkan satgas ke pusat sehingga data-data yang dibutuhkan pemerintah untuk membuat kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara baik.
Selain itu, satgas juga membuat forum rutin mingguan sebagai tempat melakukan koordinasi dan pelaporan antara pusat dan daerah terkait kondisi terkini pandemi. “Hal-hal ini kita lakukan dalam upaya mengaktifkan tata kelola yang terstruktur antara pemerintah pusat dan daerah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk tokoh masyarakat dan militer,” ujarnya.
Satgas juga membuat peta zonasi risiko daerah tempat semua orang bisa melihat tingkat perkembangan penularan di masyarakat secara makro. Menurutnya, semua program yang dibuat oleh satgas tidak akan terlaksana secara baik tanpa adanya kolaborasi pentahelix berbasis komunitas yang melibatkan pemerintah, media, akademisi, swasta, dan masyarakat.
“Dalam upaya penanganan pandemi, komando kita harus satu, dan alat navigasi utama kita adalah data. Ini penting agar seluruh arahan presiden bisa terkoordinasi dengan baik,” ujarnya pada pengujung pemaparan.