Menurut Indera, di sekolah, literasi masih dikenal dan dimaknai secara terbatas serta kurang dimanfaatkan oleh siswa dan guru, sedangkan di lingkungan rumah, orang tua dan masyarakat tidak terbiasa berkegiatan literasi. Ini terjadi karena perpustakaan belum menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi dan masyarakat lebih tertarik pada gadget.
Sejumlah siswa beralasan perpustakaan sudah tutup saat pulang sekolah, sehingga mereka tidak dapat mengakses bahan bacaan. Siswa hanya belajar di kelas dan membaca buku pelajaran. Padahal, penting bagi siswa untuk mencari informasi di luar di kelas, baik yang tertulis maupun secara lisan. Sementara itu, di lingkungan keluarga, orang tua tidak terbiasa berkegiatan literasi di rumah dan tingkat literasi digital mereka pun masih rendah.
Temuan tersebut diperoleh dari hasil diskusi fokus terarah atau focus group discussion (FGD) yang diadakan di Kupang, Bali, dan Medan, pada Agustus–September 2022. Kegiatan yang diikuti oleh pegiat literasi nasional, siswa, guru, serta pengelola perpustakaan daerah ini merupakan bagian dari uji publik tidak langsung dari Naskah Akademik Peta Jalan Pembudayaan Literasi 2021–2045 yang disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) pada 2021.
Naskah Akademik Peta Jalan Pembudayaan Literasi disusun sebagai upaya untuk mendongkrak tingkat literasi di Tanah Air yang terkendala beragam keterbatasan, mulai dari infrastruktur, kegiatan berliterasi, hingga dukungan pendanaan. Untuk melihat kesesuaian rencana kebijakan dengan kebutuhan masyarakat, uji publik perlu dilakukan atas naskah akademik yang telah disusun.
Untuk menangani permasalahan keterbatasan literasi di beberapa daerah di Indonesia, Kajian LabSosio UI merekomendasikan beberapa hal, salah satunya adalah pembentukan kelompok kerja (pokja) yang melibatkan guru, siswa, orang tua, dan pegiat literasi untuk mendorong kegiatan literasi di sekolah.
Lucia mengatakan, perlu adanya metode kegiatan literasi berbasis kolaborasi yang terkait dengan tradisi lisan di Indonesia serta dukungan dana dan fasilitas kerja sama. Literasi digital di sekolah perlu digalakan agar siswa tidak hanya memanfaatkan gadget untuk hiburan, tetapi juga untuk edukasi.
Di samping itu, budaya literasi di keluarga juga harus ditumbuhkan. Kajian LabSosio UI mengusulkan pelibatan orang tua dalam proyek literasi anak di sekolah. Berdasarkan temuan dalam FGD, banyak orangtua yang tidak lagi rutin membaca buku setelah menyelesaikan pendidikan formal. “Kegiatan literasi dalam konteks lain, seperti berdiskusi dan mendongeng, juga kurang sekali. Kalau orangtua terlibat, mungkin dapat menumbuhkan literasi di keluarga,” ujar Lusia.
Ada tiga kekuatan atau elemen penting menurut Prof Paulus yang dapat mendukung tumbuhnya budaya literasi di Indonesia. Pertama, elemen struktural, yaitu pemerintah, yang memberikan panduan dan dorongan kepada masyarakat agar terbiasa dengan budaya literasi. Kedua, elemen kultural masyarakat yang dapat membangkitkan kembali tradisi lama, seperti mendongeng. Ketiga, elemen proses sosial yang merupakan kolaborasi antarlembaga seperti perpustakaan sebagai learing-hub agar perpustakaan tidak hanya menjadi tempat untuk menyimpan buku.
“Transformasi perpustakaan saat ini begitu dahsyat, tetapi di lapangan masih belum terasa oleh masyarakat. Oleh karena itu, saya kecewa mengapa pembudayaan literasi hanya sampai tahun 2045 seharusnya masih bisa terus berlanjut,” ujar Prof Paulus.