Menurut Prof Amarila, sebagai negara megabiodiversity seyogianya Indonesia mampu memenuhi capaian yang ditargetkan untuk kemandirian obat asli Indonesia dengan memanfaatkan sumber alami. Komponen produk farmasi yang perlu dipenuhi bisa didapatkan dari dalam negeri, yaitu bahan aktif obat, eksipien, bahan tambahan, reagens, enzim, sistem ekspresi, dan sistem assays.
Untuk memenuhi ketersediaan bahan baku tersebut, rangkaian proses yang perlu dilakukan melalui tiga tahap, yaitu mandiri bahan baku (BB), mandiri research and development, dan mandiri produksi. Beberapa upaya mandiri produksi obat di Indonesia, di antaranya pembangunan infrastruktur industri BB dalam negeri, mendorong berdirinya pabrik BB lebih banyak, mendorong dan menggiatkan riset BB beserta fasilitas pilot scale secara sistematis dan berkelanjutan, dan penetapan paket-paket kebijakan ekonomi untuk mendorong pembangunan industri farma/BB.
Untuk menemukan potensi-potensi bahan obat, dilakukan serangkaian proses dimulai dari pengolahan biodiversitas meliputi tumbuhan, lingkungan, mikroba-mikroba, hingga sumber deoxyribonucleic acid (DNA) serta melibatkan bioteknologi sehingga dapat lebih diperluas keragaman bahan obat, yang nantinya dapat mendukung kemampuan produksi bahan obat di Indonesia.
Sebagai contoh, negara adidaya produsen dan pengekspor bahan alami untuk obat, aromatika, dan rempah-rempah adalah China yang mendiversifikasi bahan obat alaminya secara luas mencakup algae, bakteri, jamur kapang, dan lumut-lumutan.
Bioteknologi merupakan teknologi terhadap suatu organisme untuk menghasilkan produk-produk yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat, yaitu berupa protein, peptide, enzim, asam nukleat, dan vitamin. Dalam dekade terakhir ini, ditemukan fakta bahwa total penjualan produk biotek-farma terus meningkat pesat di dunia.
Indikasi senyawa biotek-farma bertujuan pada pengobatan dan preventif bagi penyakit-penyakit yang sulit diobati. Pengobatan masa kini berupa pengobatan regeneratif, kultur jaringan-organ, dan genetika.
Prof Amarila menjelaskan, pengolahan secara tradisional tumbuhan herbal adalah dengan mengekstraksi zat aktif berupa metabolit sekunder yang umumnya berupa senyawa aromatik, kemudian diuji aktivitas dan diformulasikan menjadi obat herbal. Dari ekstrasksi zat aktif tersebut, beberapa kemudian dikembangkan hingga ke bentuk obat fitofarmaka.
“Namun, dengan bioteknologi, lintasan biosintesis zat aktif obat-obat tersebut dipelajari dari berbagai sumber mikroba untuk kemudian dilakukan bio-engineering, sehingga dapat dirangkai menjadi terciptanya suatu mikroba penghasil bahan baku zat aktif tumbuhan serupa didalam suatu bioreactor. Contohnya biosintesis artemisinic acid di mana pathway-nya di-engineer di dalam mikroba khamir. Artemisinic acid adalah prekursor obat anti-malaria artemisinin,” terangnya.
Selain dari tanaman herbal, lanjut Prof Amarila, terdapat bahan-bahan lain asal alam Indonesia, seperti mikroba dan bahan asal lingkungan alami, yang secara tradisional diisolasi di laboratorium kemudian dikultur dan diskrining untuk aktivitas obat dan sedikit melibatkan bioteknologi sederhana. Dengan bioteknologi yang lebih advance protein aktif tersebut, dikloning dan dimodifikasi (rekayasa genetika) lebih lanjut untuk mendapat keragaman obat asli Indonesia mandiri, dan lebih unggul serta mempunyai nilai ekonomis jangka panjang.
Walau investasinya cukup besar pada awal, keuntungannya pada kemudian hari sangat besar. Teknologi DNA rekombinan dan highthoughput akan mempercepat dan memperkaya ragam zat aktif obat, eksipien, dan zat tambahan.
“Yang menjadi perhatian penting juga adalah bagaimana kemampuan Indonesia dalam memproduksi hasil riset-riset dari sumber alami yang kendalanya adalah di proses tranlasi dari skala lab, ke skala bench, lalu skala pilot sebelum ke skala industri. Siapa sebenarnya yang berperan, dan bagaimana pembagian tanggung jawabnya di negara kita,” ujar Prof Amarila.
Lebih lanjut, ia menjelaskan strategi mewujudkan kemandirian/kedaulatan obat asli Indonesia masih memerlukan investasi yang cukup besar. Beberapa aspek yang menjadi perhatian, seperti SDM, didukung Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk beasiswa studi ke mancanegara maupun kementerian terkait, berupa training exchange. Dari aspek infrastruktur, pembangunan infrastruktur bukan lagi pembangunan fisik gedung-gedung laboratorium, tapi lebih pada pembangunan highthroughput system terintegrasi dalam suatu pipeline platform pengembangan obat-obat.
Selain itu, aspek kemitraan dengan mitra luar negeri perlu diberi batasan bentuknya karena harus melibatkan transfer teknologi dalam jangka waktu singkat sehingga tidak terjadi penundaan kemandirian obat asli Indonesia.