Program Gercani dijalankan oleh Tim Pengabdi yang diketuai oleh Nabila Yuriska, mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK), dan dibimbing oleh Ns. Suryane Sulistiana Susanti, SKep, MA, PhD. Adapun anggota yang terlibat, antara lain Agnes Juliesca Wisnumoerti, Alfisyah Salwa, Asma Mabrukah, Erika Marsha Kurniawan, Fariidah Haniifah, Putri Alifah Hendrawan, dan Rizkya Wimahavinda Kardono dari FIK; serta Arfadhila Pyrenadi Adam dari Fakultas Teknik.
Ns Suryane Sulistiana berharap kegiatan ini dapat berjalan secara berkelanjutan agar UI dapat berkontribusi dalam upaya penurunan angka kejadian pernikahan dini. Ia mengatakan, “Melalui peningkatan level kesadaran dan pengetahuan remaja akan isu pernikahan dini, siswa diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam perluasan informasi dan edukasi kesehatan. Selain itu, ia mampu berkontribusi sebagai manusia yang bermanfaat, setidaknya untuk orang di sekitarnya atau bahkan untuk Kabupaten Garut.”
Tim Pengabdi memilih Garut sebagai daerah pengabdian karena merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan angka pernikahan dini tertinggi (Rosanti et al., 2020). Pada 2021, usia kawin pertama (UKP) perempuan di Garut di bawah 18 tahun, sedangkan UKP perempuan Jawa Barat 20 tahun. Sementara itu, pada 2022, terjadi 570 pernikahan dini di Kabupaten Garut. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan siswa SMAN 2 Garut mengenai bahaya pernikahan dini, Tim Pengabdi mengadakan seminar tentang pentingnya kesehatan reproduksi dan dampak pernikahan dini.
Pada seminar tersebut, siswa dibekali pengetahuan tentang bahaya pernikahan dini, cara mencegahnya, serta risiko apa saja yang terjadi jika seorang “nekat” untuk menikah dini. Dengan begitu, siswa diharapkan dapat mengetahui batas minimal usia seorang perempuan siap secara fisik dan psikologis untuk menikah. Siswa juga diberi pemahaman bahwa ada risiko besar yang dapat dirasakan oleh ibu dan bayi dalam kasus pernikahan dini.
Potensi kematian ibu pada pernikahan dini lebih besar karena ovarium dan endometrium belum berfungsi secara sempurna. Ibu juga rentan mengalami stres terhadap lingkungan sekitar, memperoleh nutrisi prakehamilan yang buruk, serta memiliki risiko kanker serviks dan keguguran. Selain ibu, bayi yang lahir dari pernikahan dini juga rentan prematur (kurang dari 37 minggu) dan memiliki berat badan rendah. Bayi juga memiliki risiko mengalami cacat bawaan karena kondisi sel telur ibu yang belum sempurna.
Dalam kegiatan tersebut, diadakan pula pemilihan Duta Gercani agar program pencegahan pernikahan dini melalui peer counseling dapat berjalan secara berkelanjutan. Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Garut, Rozak Mulyana, SPd, MPd, berharap kerja sama SMAN 2 Garut dan UI dapat terus berlanjut sehingga kontribusi ini berdampak bagi masyarakat.
“Program Gercani sesuai dengan misi sekolah untuk mengampanyekan sekolah sehat. Tema yang diangkat sangat relate dengan masalah yang terjadi di Garut. Semoga program ini dapat menjadi bentuk kerja sama yang baik antara SMAN 2 Garut dan Universitas Indonesia guna membentuk generasi bangsa yang berkualitas,” ujar Rozak.
Sementara itu, Tri Ayu Wulandari selaku peserta seminar mengungkapkan bahwa selama kegiatan Gercani, ia sangat antusias mengikuti acara. Ia mengatakan, “Materi yang disampaikan dapat dipahami remaja seusia kami. Kami bisa tahu lebih banyak tentang pernikahan dini, dampak negatifnya, dan cara pencegahannya. Narasumber juga dapat mengubah mindset kami sebagai pelajar untuk mencegah terjadinya pernikahan dini. Selain itu, terdapat lomba poster yang membuat kegiatan semakin seru dan lebih bersemangat.”