Fenomena pandemi Covid-19 mendatangkan disrupsi pada berbagai lini kehidupan manusia, salah satunya pada bidang arsitektur dan desain. Normal baru yang tercipta sebagai respons atas pandemi, menimbulkan perubahan perilaku individu maupun kelompok di ruang publik.
Pandemi membuat banyak orang, termasuk profesi arsitek dan perencana kota, memprediksi seputar kondisi saat ini maupun ke depannya. Apakah pascapandemi tradisi berkumpul akan luntur? Bagaimana menyajikan tempat kehidupan manusia yang sehat, nyaman, dan aman?
Berangkat dari tantangan tersebut, para akademisi, arsitek, dan perencana kota yang tergabung dalam Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) menggagas sebuah seminar daring (online) bertajuk “Smart City dan Covid-19: Relevansinya dengan Ibu Kota Negara Pasca Pandemi” pada Jumat (4/9/2020). Forum ilmiah ini untuk mendiskusikan beragam pertanyaan dan permasalahan sebagai akibat adanya pandemi. Seminar daring ini merupakan bagian dari peringatan HUT ke-55 Departemen Arsitektur FTUI.
Para ahli yang ternama di bidangnya hadir menyampaikan gagasan dan pandangannya, yaitu Ir Antony Sihombing MPD PhD (Departemen Arsitektur FTUI), Sibarani Sofian ST MUDD (Founder dan Director of Urban+ sekaligus pemenang pertama dalam kompetisi desain Ibu Kota Negara), Dr Yayat Supriatna MSP (Urban and Regional Planning dari Universitas Trisakti), dan Ir Evawani Ellisa MEng PhD (Departemen Arsitektur FTUI) sebagai moderator.
Antony Sihombing menjelaskan, “Pandemi ini menjadi kesempatan baik bagi kita untuk kembali mendefinisikan rancangan sebuah kota (redesign) yang baik, agar sesuai dan siap dengan fenomena pandemi, khususnya pada ibu kota negara. Para ahli dan perancang kota tentunya punya visi bagaimana proses penyesuaian itu akan tetap menjaga bahkan meningkatkan kualitas ibu kota negara yang baru. Selain itu, konsep smart city tentunya memainkan peranan penting dalam kehidupan pada era new normal. Penggunaan information technology (IT) dan artificial intelligence (AI) yang semakin maju tentunya turut menentukan kota-kota di masa depan.”
Arsitek dan perencana kota, kata Antony, juga berhubungan dengan bidang kesehatan. Perancangan yang mereka buat diarahkan untuk membuat tempat kehidupan manusia yang memenuhi kesehatan masyarakat, nyaman, dan aman. Kebijakan physical distancing juga mengubah standar ruang kerja dan dalam konteks yang lebih luas, mengubah nilai ekonomi suatu bangunan.
“Faktor risiko penyebaran penyakit menjadi penting dalam menentukan arah bisnis perkantoran dan retail secara signifikan,” ujar Antony.
Ia juga menguraikan bahwa bangunan-bangunan yang ada di kota perlu adaptasi kembali penggunaannya (adaptive reuse). Menurut Antony, saat ini, tingkat hunian perkantoran, pertokoan/mal di perkotaan menurun drastis. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan kembali fungsi ruang kantor, ruang aula, auditorium, dan sinema besar.
Misalnya, dengan berkurangnya penggunaan lapangan parkir mobil (terbuka) akibat pembatasan protokol kesehatan, perlu dipikirkan adaptive reuse untuk fungsi lain, seperti drive-in cinema atau drive through sunday market untuk waktu-waktu tertentu. Selain itu, memperbanyak taman-taman kota, RPTRA, dan mengarahkan pembangunan berorientasi lingkungan hijau dan biru.
Sebanyak tujuh tema seminar daring digelar mulai dari 18 Agustus hingga 11 September 2020. Sebagai puncak dari rangkaian webinar, sebuah virtual round table meeting akan dilaksanakan pada September 2020. Forum ini akan mengundang arsitek, perencana kota, dan para ahli di bidang yang terkait, untuk merumuskan fenomena pandemi ini.
Sumbangan ini diharapkan dapat memaknai 55 tahun berdirinya Departemen Arsitektur FTUI dan memberikan sumbangsih pemikiran dan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19.