Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menggelar sidang terbuka Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi (PPIE) dengan promovendus atas nama Iman Sufrian. Ia menyampaikan disertasi berjudul “Desentralisasi dan Ketimpangan Layanan Kesehatan di Indonesia”.
Iman melaksanakan sidang promosi doktor secara daring pada Rabu (27/1/2021) dan dinyatakan lulus dengan predikat “Memuaskan”. Ia merupakan Doktor ke-123 Bidang Ilmu Ekonomi.
Sidang Promosi Doktor ini diketuai Prof Nachrowi Djalal Nachrowi PhD dengan promotor Prof Robert A Simanjuntak PhD. Sedangkan ko-promotor I Benedictus Raksaka Mahi PhD, dan ko-promotor 2 Riatu Mariatul Qibthiyyah PhD. Tim penguji dalam sidang tersebut adalah Prof Prijono Tjiptoherijanto PhD (Ketua Penguji), Vid Adrison PhD, Diah Widyawati PhD, Prani Sastiono PhD, dan Dr Boediarso Teguh Widodo.
Dalam sidang tersebut, Iman memaparkan bahwa Indonesia telah mengalami dua fase kebijakan desentralisasi. Pertama, kebijakan desentralisasi administratif yang dijalankan secara serentak tahun 2001. Selanjutnya, pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia dan DPR RI menambah dimensi politik dari kebijakan desentralisasi melalui pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
Berdekatan dengan kebijakan desentralisasi politik, Indonesia mengadopsi secara formal prinsip keadilan pelayanan kesehatan dalam sistem kesehatan di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Studi ini terdiri atas dua bagian. Pertama, mengevaluasi pencapaian keadilan pelayanan kesehatan kuratif yang meliputi layanan kesehatan rawat jalan dan layanàn kesehatan rawat inap di Indonesia dengan menggunakan ukuran ketimpangan yang dapat didekomposisi secara sempurna, yaitu indeks Theil. Data yang digunakan berupa Survei Sosial Ekonomi Indonesia (Susenas) tahun 1996, 1998, 2000, 2002, 2005, 2008, 2011, dan 2014.
Hasil dekomposisi indeks Theil menunjukkan bahwa ketimpangan dalam wilayah, baik dalam provinsi maupun kabupaten/kota menyumbang porsi yang dominan terhadap total ketimpangan layanan kesehatan. Selain itu, ketimpangan layanan kesehatan, baik ketimpangan total, ketimpangan dalam wilayah, maupun ketimpangan antara wilayah cenderung memburuk selama krisis ekonomi tahun 1998. Ketimpangan layanan kesehatan cenderung membaik, terutama selama fase kedua desentralisasi dan adanya kebijakan jaminan kesehatan sosial pada periode 2005-2014.
Bagian kedua mengevaluasi indikasi dampak bauran kebijakan desentralisasi administrasi, desentralisasi politik (pemilihan langsung di tingkat kabupaten/kota) dan jaminan kesehatan sosial terhadap ketimpangan pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Data yang digunakan ialah Susenas tahun 1996, 1998, 2000, 2002, 2005, 2008, 2011, dan 2014. Selain itu, juga mengunakan data surve Potensi Desa (Podes) tahun 1996, 2000, 2003, 2006, 2008, 2011, dan 2014. Metode yang digunakan berupa regresi fixed effect panel data.
Hasil regresi menunjukkan, desentralisasi administratif saja belum memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan cenderung meningkatkan ketimpangan layanan kesehatan rawat inap. Desentralisasi administratif yang dikombinasi dengan kebijakan jaminan kesehatan sosial memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap.
Kombinasi kebijakan desentralisasi administratif dan politik di tingkat pemerintah kabupaten/kota dan kebijakan jaminan kesehatan sosial memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan terbesar dibanding kondisi lainnya.
Secara rata-rata, penyediaan sumber daya kesehatan memberikan efek terhadap penurunan ketimpangan layanan kesehatan. Penyediaan sumber daya kesehatan pada kondisi kombinasi kebijakan desentralisasi administratif yang ditambah dengan kebijakan desentralisasi politik serta adanya kebijakan jaminan kesehatan sosial memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan maupun ketimpangan layanan kesehatan rawat inap yang terbesar dibandingkan kondisi lainnya.
Efek penyediaan sumber daya kesehatan menjadi lebih besar terhadap penurunan ketimpangan layanan kesehatan seiring peningkatan nilai indeks sumber daya kesehatan.
Kesimpulan dari tujuan penelitian pertama adalah diperlukan perhatian yang lebih besar ketimpangan dalam wilayah (kabupaten/kota/provinsi) karena penurunan ketimpangan dalam wilayah berkontribusi signifikan pada penurunan ketimpangan layanan kesehatan secara keseluruhan.
Sementara itu, kesimpulan dari bagian kedua adalah Indonesia sudah berada di jalur kebijakan yang tepat dalam menurunkan ketimpangan layanan kesehatan dengan menerapkan kebijakan desentralisasi administratif dan desentralisasi politik yang dikombinasikan dengan kebijakan jaminan kesehatan sosial secara nasional yang secara bersama-sama berkontribusi pada penurunan ketimpangan dalam wilayah kabupaten/kota.
Mekanisme transmisi dari kebijakan desentralisasi dan kebijakan jaminan kesehatan sosial terhadap penurunan ketimpangan layanan kesehatan terjadi melalui mekanisme transmisi langsung maupun tidak langsung melalui penyediaan sumber daya kesehatan. Analisis marginal effect menunjukkan bahwa terdapat batasan nilai minimum (threshold) bagi penyediaan sumber daya kesehatan agar dapat memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan, yaitu skor 12 untuk memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan skor 27 untuk memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehaan rawat inap.
Pada 2014, terdapat variasi yang besar untuk nilai indeks sumber daya kesehatan di tingkat kabupaten/kota. Nilai terendah adalah 9,16 dan nilai tertinggi adalah 74,67 dengan rata-rata 34,49. Dengan demikian, masih ada kabupaten/kota yang ketersediaan sumber daya kesehatannya belum cukup untuk dapat memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan.
Oleh karena itu, perlu perhatian yang lebih besar agar kabupaten/kota dengan nilai indeks sumber daya kesehatan kurang dari nilai minimum untuk dapat mempercepat peningkatan indeks sumber daya kesehatan agar dapat berkontribusi terhadap penurunan ketimpangan dalam kabupaten/kota dan selanjutnya menurunkan ketimpangan layanan kesehatan secara keseluruhan.