Publik ramai merespons wacana new normal di tengah pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Pandemi Covid-19 di Indonesia disikapi beragam oleh banyak kalangan.
Namun, hampir semua sepakat pemerintah harus menjadi pemain utama dalam mengatasi pandemi ini. Negara harus hadir dan berperan penuh mengatasi wabah Covid-19 ini agar tidak semakin meluas dan bahkan dapat ditemukan vaksinnya.
Dianutnya desentralisasi dalam NKRI menyebabkan di samping terdapat pemerintah pusat, juga terdapat pemerintah daerah. Soal tanggung jawab mengatasi pandemi Covid-19 ini, membuat kalang kabut hubungan pusat dan daerah. Sinyalemennya adalah ketika beberapa daerah menyatakan lockdown lokal, tetapi dianulir oleh pemerintah pusat.
Berbarengan dengan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pandemi Covid-19 ini dinyatakan sebagai bencana nasional. Belum dievaluasi dan dicabut status bencana nasional beserta instrumen PSBB-nya, pemerintah bersiap pada “relaksasi PSBB” dengan new normal. Tulisan ini bermaksud mendudukkannya dalam konteks struktur otonomi daerah yang berkembang di Indonesia.
Supply side heavy
Sampai digulirkan kebijakan relaksasi melalui wacana new normal, hingga kini materi kebijakan PSBB menjadi acuan tindakan negara mengatasi Covid-19. Namun, dari kebijakan tersebut, tampak terasa pemerintah cenderung lepas tanggung jawab.
Pemerintah tampak lebih memilih tidak hadir di tengah-tengah masyarakat, bahkan pencegahan Covid-19 ini seolah komunitas terkecil yang melakukannya sendiri. Tidak tanggung-tanggung satuan terkecil berupa keluarga dengan mendorong WFH dan physical distancing. Hal tersebut semakin nyata dalam wacana new normal.
Kebijakan PSBB membawa pemerintah berfokus pada kuratif dan represif menyiapkan unit bidang kesehatan dan birokrasi negara pendukung lainnya. Hal ini tidak untuk sisi demand.
Pemerintah dinilai supply-side oriented. Ke arah masyarakat, pemerintah terus menerus mengeluarkan dana besar ke semua K/L untuk menggelorakan “imbauan” sehingga biaya iklan di TV, radio, dan media lain untuk kepentingan Covid-19 ini mengalami peningkatan.
Dalam hal alokasi anggaran untuk kepentingan supply-side ini, diatur kebijakan turunan dengan adanya keputusan Menteri Keuangan untuk hal tersebut. Sejumlah K/L dan berbagai unit pemerintah pusat dan pemerintah daerah merespons untuk menyesuaikan dengan peraturan kebijakan tersebut.
Paradigma supply-side ini juga dikecilkan hanya persoalan alokasi anggaran untuk K/L dan unit-unit dari birokrasi negara, baik di pusat maupun di daerah. Di kepala perumus kebijakan ini rupanya terdapat pembiaran untuk “bekerja sendiri-sendiri” di antara berbagai unit dalam organ negara mengatas Covid-19 ini. Perumus kebijakan tidak terlalu berani merumuskan alur kerja baru dalam penanganan wabah Covid-19 secara nasional sehingga terjadi collaborative governance bahkan strategic alliance tidak terjadi.
Dampak dari rumusan “pembiaran” ini tetap mengacu pada pemahaman bahwa Covid-19 mampu diatasi oleh masing-masing kelompok masyarakat, dan tidak sampai kepada pemahaman bagaimana negara berperan secara total. Sangat logis, kalau data menunjukkan merebaknya wabah Covid-19 tidak terbendung, sementara penggunaan dana dengan kebijakan yang ada dapat mengarah pada keadaan tanpa kontrol yang memadai.
Otonomi daerah dibiarkan status-quo dalam menghadapi Covid-19. Pusat menganggap “daerah paham sendiri” mengatasi wabah ini. Pemerintah daerah pun akhirnya bertindak dalam paradigma “masyarakat paham sendiri”.
Untuk mewujudkannya dibuat dua program yang amat besar. Pertama, program pemerintah (pusat dan daerah) dalam menyadarkan masyarakat untuk “paham sendiri”. Kedua, program untuk sektor utama kesehatan yakni menyiapkan dan menguatkan rumah sakit di samping program bagi birokrasi pendukung yakni terutama sektor perhubungan sebagai garda pembatasan dan industri perdagangan yang terpukul akibat wabah ini, serta birokrasi yang mengurus bidang sosial (pusat dan daerah).
Demand side
Kebijakan PSBB tidak berisi demand-side yang tegas, jelas, dan besar. Meskipun menghindari istilah lockdown menjadi pembatasan sosial, dan social-distancing menjadi physical-distancing, seharusnya tetap besar ke demand-side, yakni pikirkan jika masyarakat terutama kaum masyarakat lemah ditangani negara.
Negara hadir untuk mengatasi kerentanan mereka dalam rangka PSBB. Bahkan, meskipun pemerintah kelak akan mengajak relaksasi, negara tetap harus hadir memastikan relaksasi yang terjamin kesehatan dan keamanannya.
PSBB ini harus ditujukan untuk warga masyarakat yang secara nasional tidak boleh dibeda-bedakan. Bukan menggantungkan kepada daerah otonom masing-masing karena daerah otonom yang kaya akan memberi perlindungan warga masyarakat kelas bawah atau kaum rentan ini lebih baik dari daerah otonom yang lemah. Ini membiarkan ketidakadilan terjadi di bumi Nusantara.
Covid-19 ini saja mewabah tidak pandang daerah administratif dari daerah otonom mana pun. Dia melintas batas antarprovinsi, bahkan antarnegara. Sudah sepantasnya pusat yang menangani langsung untuk keadilan, pemerataan standar bagi warga Indonesia secara keseluruhan tanpa pandang bulu.
Pemerintah pusat seharusnya bukan sekadar supply-side. Ini tidak hanya masalah K/L kesehatan, tetapi juga keseluruhan aspek merata. Ini adalah keseimbangan supply-side dan demand-side. Presiden adalah komandan dari penanganan wabah Covid-19 ini secara langsung. Ini adalah bencana sehingga dapat di-organize oleh BNPB di bawah kendali langsung Presiden.
Daerah otonom tidak menjadi perumus kebijakan soal Covid-19 ini, terlebih hingga kini masih dinyatakan secara jelas dalam kebijakan pemerintah sebagai bencana nasional. Daerah otonom dicabut otonominya soal penanganan Covid-19. Daerah otonom harus diminta “membantu” pemerintah pusat, dan hanya menjalankan perintah dari pusat dengan orientasi demand-side dan supply-side secara berimbang dalam wadah PSBB yang lebih bergema. Dalam hal ini, pemerintah pusat adalah perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan langsung yang dapat dibantu daerah otonom.
Daerah otonomi “membantu” ini dapat diarahkan untuk hal-hal yang dirinci ditentukan oleh pemerintah pusat untuk melakukan apa saja yang diminta. Pendanaan seluruhnya dari pusat. Dana APBD dapat dipikirkan untuk kegiatan tak langsung yang dapat dilakukan oleh masing-masing daerah di luar yang dirinci telah diperintahkan oleh pusat. Dengan seperti ini, Covid-19 ditangani secara terstandar merata dari Sabang sampai Merauke tanpa perbedaan (diskriminasi).
Meskipun relaksasi menjadi pilihan kebijakan kelak, tetap penyelenggara relaksasi dengan mekanisme PSBB adalah pemerintah pusat. Tidak ada kesimpangsiuran dalam penanganan Covid-19 karena terdapat komando yang jelas dari Jakarta.
Oleh Irfan Ridwan Maksum/Guru Besar Tetap, Ketua Pengmas Desa dan Klaster DeLOGO-FIA-UI