“Transisi energi Indonesia harus adil dan terjangkau. Ini merupakan langkah utama mitigasi risiko jangka menengah karena masyarakatlah yang akan merasakan dampak langsung dan tidak langsung dari pensiun dini PLTU batu bara. Selain itu, pentingnya berfokus pada transaksi pertama sebagai bentuk realisasi dari konsep yang akan menjadi batu pijakan untuk pencapaian ambisi yang lebih tinggi,” ujar Febrio dalam webinar bertajuk “Prospek dan Tantangan Energy Transition Mechanism” yang diselenggarakan Lembaga Pengkajian dan Penerapan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (LPPIA FIA UI), Rabu (29/3/2023).
Energy Transition Mechanism (ETM) adalah program peningkatan pembangunan infrastruktur energi dan percepatan transisi energi menuju net zero emission dengan prinsip adil dan terjangkau pada tahun 2060.
ETM terdiri atas dua skema, yaitu skema fasilitas pengurangan emisi (carbon reduction facility) yang digunakan untuk memensiunkan secara dini pembangkit listrik tenaga batu bara atau PLTU di Indonesia, serta skema fasilitas energi bersih (clean energy facility) yang ditujukan untuk mengembangkan atau menginvestasikan kembali fasilitas energi hijau.
Pada November 2022, pemerintah meluncurkan Energy Transition Mechanism Country Platform yang merupakan program regional transformatif dengan mengutamakan mekanisme pendanaan campuran (blended finance) untuk mempercepat rencana pensiun dari PLTU tenaga batu bara dan menggantinya dengan energi bersih. Pemerintah juga menandatangani MoU untuk menjajaki proyek pertama ETM, yaitu proyek pensiun dini PLTU batu bara berkapasitas 660 megawatt di Jawa Barat.
Menurut Febrio, dalam proses terselenggaranya ETM, ada hal penting yang harus diperhatikan. Salah satunya, kebutuhan untuk menghasilkan peta jalan pensiun dini PLTU batu bara sebelum dan setelah tahun 2030. Usulan peta jalan ini akan dihasilkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam kerangka regulasi.
Dekan FIA UI Prof Chandra Wijaya menyebut bahwa realisasi ETM tidak terlepas dari peran kebijakan lingkungan hidup dan kebijakan makro ekonomi yang mendorong percepatan transisi energi berkelanjutan. Oleh karena itu, FIA UI berperan penting dalam menyukseskan kebijakan yang critical ini melalui tiga disiplin ilmu, yaitu Ilmu Administrasi Negara/Publik, Ilmu Administrasi Niaga, dan Ilmu Administrasi Fiskal.
“Ilmu Administrasi berperan dalam mengintegrasikan prinsip administrasi publik, termasuk evaluasi kebijakan energi yang existing dan penyusunan kebijakan energi baru. Terkait kebijakan fiskal, Ilmu Administrasi Fiskal membantu dalam analisis pajak dan insentif fiskal, misalnya dengan memberikan insentif pajak bagi produsen atau konsumen energi terbarukan. Adapun Ilmu Administrasi Niaga berperan dalam pengembangan dan implementasi strategi transisi energi yang tepat, meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi dampak lingkungan, serta menjaga keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang,” kata Prof Chandra.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyebutkan bahwa transisi energi fosil menuju energi terbarukan di Indonesia sangat mungkin dilakukan karena Indonesia memiliki potensi besar untuk sumber-sumber energi terbarukan. Potensi alam yang terlihat di beberapa wilayah, antara lain potensi hidro, surya, angin, laut, hingga panas bumi.
Potensi hidro tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kalimantan Utara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Papua. Potensi surya terlihat di beberapa wilayah, utamanya di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, dan Riau. Potensi angin ada di wilayah NTT, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, NAD, dan Papua. Sementara itu, potensi laut terutama ada di wilayah Maluku, NTT, Nusa Tenggara Barat, dan Bali; serta potensi panas bumi tersebar di kawasan ring of fire.
Atas upaya ETM ini, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dibandingkan business as usual pada 2030 dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional.
Menurut Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN, Hartanto Wibowo, untuk mencapai net zero emission pada 2060, PLN berinisiatif menjalankan strategi dengan berlandaskan pada tiga pilar, yaitu beralih dari ketergantungan terhadap sumber energi pembangkit tinggi karbon; pertumbuhan yang didukung pengembangan teknologi dan bisnis baru; serta membangun kapabilitas internal dan teknologi baru yang didukung oleh inovasi, pendanaan, dan kebijakan.
Country platform untuk mekanisme transisi energi yang diluncurkan pada 2022 lalu merupakan kerja sama antara pemerintah dengan Asian Development Bank (ADB) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Menurut President Director PT SMI, Edwin Syahruzad, sebagai ETM Country Platform Manager, PT SMI bertugas untuk berkoordinasi dengan pemangku kepentingan dalam menyusun kerangka transisi energi di sektor ketenagalistrikan.
PT SMI akan melakukan kajian komprehensif terkait dukungan fiskal yang diperlukan. Selain itu, ia juga berperan dalam merumuskan konsep integrasi dukungan fiskal di lingkungan Kementerian Keuangan dan sumber fasilitas de-risking lainnya demi upaya mempercepat transisi energi.