Dosen Program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI), Dr Hendra Kaprisma MHum, menjadi kurator pada Pameran “Jejak Memori Gempita Layar Perak Jakarta” yang berlangsung di Museum Sejarah Jakarta, pada 10 hingga 22 Oktober 2023. Pameran ini merupakan kurasi perfilman pertama yang diselenggarakan oleh Museum Sejarah Jakarta, bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Provinsi DKI Jakarta, Perpustakaan Nasional (Perpusnas), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Dr Hendra bersama rekannya Jajang Nurjaman SHum, MA yang bertindak sebagai asisten kurator mengumpulkan dan mengelola bahan dari berbagai sumber primer. Sumber-sumber primer tersebut berasal dari Dispusip, Perpusnas, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Koninklijk Instituut voor Taal–, Land–en Volkenkunde (KITLV), dan sebagian lagi diperoleh melalui wawancara dengan para narasumber.

Pembukaan pameran yang diadakan pada Senin (9/10), di Museum Sejarah Jakarta, Dr Hendra membagikan hasil temuannya terkait evolusi perfilman di Jakarta—mulai dari layar tancap yang dulu dikenal dengan istilah misbar (gerimis bubar) hingga bioskop modern yang populer saat ini. Ia mengatakan, “Ketika pertama kali diperkenalkan di Jakarta, layar tancap langsung mendapat posisi di hati masyarakat. Penayangan film dengan cara ini masih populer hingga tahun 1950-an.

Selanjutnya, layar tancap digantikan dengan bioskop modern yang memiliki tempat tetap.” Selain itu, menurut Dr Hendra, hal lain yang tidak kalah penting dalam evolusi perfilman di Jakarta adalah status sosial yang lebih longgar pascakemerdekaan. Kondisi tersebut memberikan kesempatan bagi Komite Bumi Putera untuk berada di tempat yang sama dan sejajar dengan orang-orang Eropa.

Hal ini karena sebelumnya, Bumi Putera dipaksa untuk menonton film dari belakang layar, sedangkan bagian depan hanya boleh diisi oleh orang-orang Eropa. Karena itu, tidak mengherankan jika para tokoh bangsa seperti Soekarno sangat ahli dalam membaca tulisan dari belakang layar karena terbiasa dengan kondisi tersebut.

Ciri khas dari pameran sejarah adalah dapat diidentifikasi melalui keberadaan timeline yang kronologis. Jajang menyebut bahwa periodisasi yang ditampilkan dalam pameran ini didasarkan pada peristiwa politik yang terjadi pada masa Hindia Belanda, masa Pendudukan Jepang, dan masa Republik Indonesia. Masing-masing periode memiliki keunikan tersendiri.

 

“Saat pertama kali hadir di tengah masyarakat dalam bentuk bioskop keliling, pada umumnya film-film yang ditampilkan berasal dari Barat sebab ketika itu Bumi Putera belum memiliki kemampuan untuk memproduksi film sendiri. Begitu masuk ke zaman Jepang, film diarahkan untuk propaganda. Kondisi tersebut akhirnya berangsur-angsur pulih setelah Indonesia merdeka, sehingga film kembali pada fungsi awalnya, yaitu sebagai hiburan,” ujar Jajang.

Dalam konteks genre, hingga tahun 1990-an, film bergenre horor merupakan yang paling populer di Jakarta. Jajang menyinggung bahwa pada masa itu, terjadi penurunan performa perfilman yang ditayangkan di Jakarta. Film-film tahun 1990-an lebih mengutamakan unsur erotis dibandingkan unsur grafis yang memberi kenyamanan bagi penonton. Hal ini tentunya tidak terlepas dari situasi politik yang ada. “Pemerintah pada masa itu melarang pembicaraan yang mendalam terkait politik, sehingga masyarakat dibiarkan untuk menonton film seperti itu sebagai bentuk pengalihan isu yang paling efektif,” kata Jajang.

Penyampaian ulasan pada pembukaan “Pameran Jejak Memori Gempita Layar Perak Jakarta” turut dihadiri oleh Kepala Unit Pengelola Museum Jakarta, Esti Utami, SS. Menurutnya, pameran tersebut penting diadakan sebagai langkah dan inovasi dari Museum Sejarah Jakarta untuk menghadirkan sejarah dalam nuansa yang lebih menyenangkan.

Pembukaan acara ini juga dihadiri oleh Dekan FIB UI, Dr Bondan Kanumoyoso, MHum; Amelita Lusia, MSi, Kepala Biro Humas dan KIP UI; perwakilan dari Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.