Dua dosen muda Universitas Indonesia (UI) masuk di 27 peneliti  Indonesia yang berhasil lulus dari Science Leadership Collaborative (SLC), yaitu program pengembangan kepemimpinan ilmuwan kelas dunia.

Mereka adalah dosen Fakultas Teknik (FT) Dr Dipl-Ing Nuraziz Handika ST MT MSc; dan dosen Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Krisna Puji Rahmayanti SIA MPA PhD. Kelulusan keduanya dikukuhkan pada Jumat (17/3/2023) di Ungasan, Bali.

SLC adalah program pengembangan kapasitas yang dirancang oleh The Conversation Indonesia  bersama sejumlah ahli kepemimpinan dari Amerika, Eropa, dan Asia untuk mengembangkan peneliti Indonesia menjadi pemimpin sains di masa depan. Program ini diselenggarakan pertama  kali pada 2022/2023 dan dirancang berdasarkan studi yang dilakukan pada 2021. Para peserta  kegiatan ini merupakan early-to-mid-career researchers dari perguruan tinggi, lembaga riset, non governmental organization (NGO), dan start-up dengan keilmuan dan keahlian beragam. 

Kegiatan pelatihan ini diawali dengan self leading, leading the system, hingga innovation sprint. Immunity to Change adalah bagian yang menarik sebelum memasuki Innovation Project Sprint karena peserta tidak hanya digali potensinya, tetapi juga digali hal-hal yang menghambat diri untuk  berkembang. Selanjutnya, di bagian Innovation Project Sprint, peserta diminta mengangkat masalah yang terkait penelitian dan mencari solusinya melalui berbagai ide inovasi.  

Selama 9 bulan, para peserta menjalani program intensif berupa seminar dan lokakarya, mentoring, 1-on-1 coaching, peer learning, dan pembelajaran melalui learning machine system untuk menggali  potensi dan kapasitas mereka sebagai pemimpin sains.

Nuraziz Handika lulus setelah mengembangkan  proyek “How to Preserve Human’s Life and to Assure Safety & Performance of Earthquake Resistant Building in A Ring of Fire Country (Indonesia)?”. Sementara Krisna Puji Rahmayanti berhasil menyelesaikan penelitian bertema “Increasing Community Resilience Collaboratively in Pacitan Regency”. 

Menurut Aziz, inovasi yang dihasilkannya terinspirasi dari kegiatan survei lapangan atas bangunan sederhana 1–2 lantai (perumahan) pascagempa Lombok 2018, Palu 2018, dan Cianjur  2022. Saat itu, ia bersama tim dari laboratorium Struktur dan Material Departemen Teknik Sipil  FTUI melihat kerusakan yang terjadi pada bangunan sederhana. Istilah nirrekayasa atau non engineered adalah kategori dari bangunan tipe ini.

Dari hasil survei, disimpulkan bahwa kerusakan yang terjadi dapat dihindari jika mengikuti standar pembuatan rumah sederhana yang dikeluarkan Kementerian PUPR atau panduan yang dibuat dosen Teknik Sipil FTUI yang sudah pensiun,  (Alm) Teddy Boen.  

“Secara teknis, dokumen ada. Hanya saja, mungkin sebagian besar dari kita tidak menjumpainya. Di DKI Jakarta, disyaratkan untuk membuat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), juga terdapat arahan untuk membuat bangunan sederhana tersebut. Sementara itu, untuk bangunan 8 lantai ke  atas, kita sudah menyadari adanya standar khusus untuk bangunan tahan gempa,” ujar Aziz.

Ia berharap, inovasi ini dapat meningkatkan awareness masyarakat, terutama saat membangun rumah. Pihak pembangun (kontraktor dan tukang) serta pemilik rumah harus menyadari kondisi  bangunan yang baik. Dengan mengacu standar hasil penelitian, diharapkan korban jiwa yang  mungkin ada akibat bencana gempa dapat dikurangi. Selain itu, kolaborasi dengan bidang lain, baik itu komunikasi, psikologi, dan sebagainya juga diperlukan untuk mempermudah sampainya pesan  kepada masyarakat.  

Sementara itu, Krisna menilai bahwa kolaborasi dalam kegiatan ini terlihat dari interaksi antarpeneliti dengan para coach dan mentor dari berbagai negara. Ia bersama Prof Deden Rukmana, diaspora Indonesia sekaligus Chair of the Department of Community and Regional Planning at Alabama A&M University, menyusun riset terkait partisipasi publik dalam rekonstruksi rumah pascabencana. Ide ini telah disampaikan ke sejumlah stakeholder, yaitu perwakilan  komunitas dan lembaga pemerintah di Kabupaten Pacitan. 

“Saya berharap ada kelanjutan dari program ini dan lebih banyak peneliti muda Indonesia ikut terlibat sehingga memperluas wawasan dan kolaborasi dengan peneliti dari multidisiplin ilmu. Pengalaman selama kegiatan ini menjadi bekal untuk menjadi periset yang tidak hanya ada di menara gading, tetapi juga bisa menghasilkan riset yang berdampak,” kata Krisna.

Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (2008–2018) yang merupakan salah satu panelis dalam acara tersebut, Prof Sangkot Marzuki, dan Guru Besar UI Prof Jatna Supriatna, turut mengapresiasi prestasi ini. Dalam pidato pengukuhan kelulusan para peneliti, Prof Jatna menyebut bahwa angkatan ini adalah pionir. Ia berharap para lulusan tidak hanya mampu berkolaborasi, tetapi  juga menjadi ilmuwan yang matang.