Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menggelar seminar bertajuk “E-notary dalam Era Industri 4.0 dan Sosial 5.0: Kebutuhan atau Ancaman?” pada Sabtu (24/10/2020) secara daring. Pelaksanaan seminar ini merupakan bagian dari peringatan Dies Natalis ke-96 FHUI.
Pada seminar tersebut, hadir Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Cahyo Rahadian Muzhar sebagai pembicara kunci, serta beberapa narasumber, yaitu Direktur Perdata Kemenkumham Santun Maspari Siregar, Dekan FHUI Dr Edmon Makarim SKom SH LLM, serta perwakilan dari Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia Aulia Taufani SH.
Kegiatan yang dipandu moderator Fully Handayani Ridwan SH MKn ini, bertujuan untuk menjawab tantangan yang timbul akibat era industri 4.0 dan sosial 5.0. Ditambah disrupsi yang diakibatkan pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat memanfaatkan teknologi dalam berkegiatan, tidak terkecuali profesi notaris.
Dalam sambutan kuncinya, Dirjen AHU Kemenkumham mengapresiasi webinar yang diselenggarakan Program Studi Magister Kenotariatan FHUI. Cahyo menyatakan bahwa pandemi yang melanda dunia ini mendorong semua pihak untuk memanfaatkan sistem teknologi informasi, termasuk profesi notaris.
Kendati demikian, dalam pelaksanaan e-notary perlu adanya suatu tinjauan peraturan perundang-undangan, misalnya untuk mewujudkan akta secara elektronik. Dalam praktiknya, konsep e-notary atau cyber notary telah diterapkan di negara-negara lain, seperti Italia dan Belgia, dengan notaris yang dapat menggunakan video call dalam layanan konsultasi. Di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, sedang dipercepat penggunaan remote online authorization untuk beberapa layanan tertentu, sebagai salah satu upaya menjaga notaris dan klien dari risiko ancaman Covid-19.
Cahyo berharap, bahan kajian yang dihasilkan dalam seminar ini dapat dipakai sebagai masukan untuk Rancangan Perubahan terhadap Undang-Undang Jabatan Notaris (RUU JN) dengan memasukkan ketentuan e-notary atau cyber notary, pelayanan jasa notaris secara elektronik, termasuk pembuatan akta. Selama ini, Direktorat Jenderal AHU dan FHUI telah menjalin komunikasi, baik formal maupun informal, seputar penyempurnaan RUU JN. Dari perspektif pemerintah, pemerintah sering kali menghadapi sengketa yang ditimbulkan oleh pembuatan akta notaris yang dianggap tidak sempurna, sehingga menjadi akta di bawah tangan.
Selaras dengan penyampaian Dirjen AHU, Direktur Hukum Perdata Kemenkumham mengatakan, pelaksanaan e-notary dapat dilakukan. Namun, pilihan untuk melaksanakan atau tidak berpulang pada kemauan dan kesiapan dari para pihak. Santun mencontohkan, dalam hal pengarsipan, notaris cenderung sepakat bahwa pengarsipan akan jauh lebih efisien jika dilakukan secara elektronik ketimbang fisik.
Menurut Santun, hal yang dapat dilakukan menuju pelaksanaan e-notary adalah membuat landasan regulasi dan melakukan peningkatan kompetensi kualitas notaris berkenaan dengan sistem teknologi informasi. Mengingat sifat perubahan yang ditimbulkan cukup masif, maka pelaksanaan e-notary harus menjadi kesepakatan seluruh pihak dan kebijakannya harus berada di tingkat nasional, bukan kebijakan sektoral. Tentunya Direktorat Hukum Perdata Kemenkumham RI mengharapkan pula perspektif akademisi untuk pelaksanaan e-notary.
Dalam paparannya, Dekan FHUI menjawab pertanyaan besar yang menjadi tema webinar kali ini. Edmon menegaskan, e-notary tidak sekadar kebutuhan bersama, tetapi juga lebih dari itu, e-notary memiliki tujuan untuk menciptakan perlindungan bagi notaris.
Selain menjelaskan best practice e-notary di berbagai negara, Edmon menjelaskan bahwa permasalahan yang timbul karena cara-cara konvensional dalam bernotaris justru dapat dicegah dengan pelaksanaan e-notary. Misalnya, dokumen akta notaris yang memakai kertas dapat dipalsukan; sedangkan jika memakai dokumen elektronik, potensi pemalsuan semakin minim. Dokumen elektronik justru memiliki sistem pencatatan dan perekaman yang lebih mutakhir sehingga jika dipalsukan akan lebih mudah untuk terbukti.
Menurut Edmon, secara fungsional, apa yang dapat dilakukan di atas kertas dapat juga dilakukan dalam dokumen elektronik, maka keautentikannya dapat dipersamakan. Doktrin yang mendukung hal ini adalah functional equivalent approach yang dipakai di UU ITE.
Pada era pandemi ini, ia juga menyebutkan, sistem e-notary akan melindungi notaris dan klien dari ancaman terkena virus. Edmon melihat bahwa dalam perkembangannya, Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020 yang memberikan legalitas terhadap penyelenggaraan sidang melalui sarana telekonferensi selama masa kedaruratan kesehatan. Artinya, penyelenggaraan kegiatan notaris dengan menggunakan video conference bisa saja dilakukan dan terjamin keautentikannya karena tercatat kehadirannya, terdapat bukti rekamannya, dan tanda tangannya pun dapat dilakukan secara elektronik.
Dekan FHUI berharap, akan terdapat Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang memayungi pelaksanaan e-notary. Menurutnya, secara infrastruktur, pendidikan, dan aplikasi kita telah siap untuk melaksanakan praktik e-notary tapi kembali lagi kepada mental dan nyali para pihak.
Perwakilan dari Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia Aulia Taufani SH menyampaikan, saat ini adalah momentum untuk mengubah UU Jabatan Notaris. Jika ingin mengadakan sistem e-notary yang ujungnya berbasis digital, maka awalnya harus menyusun minuta akta yang menggunakan sistem digital. Namun, sistem ini seyogianya menjadi opsional karena Indonesia secara geografis sangat luas dan masyarakatnya heterogen.
Menurut Aulia, tantangan besar untuk e-notary adalah infrastrukturnya. Harus ada dukungan dari kementerian dan lembaga lain karena semua data digital akan saling terkait. Selain itu, program studi Magister Kenotariatan harus memasukkan e-notary dalam standar kurikulum untuk mahasiswa kenotariatan. Sementara itu, Ikatan Notaris Indonesia akan melaksanakan pelatihan notaris untuk notaris yang sudah ada terkait e-notary. Aulia menegaskan kembali, notaris siap dan harus siap untuk menghadapi perubahan ke arah yang lebih baik.