Pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan memerlukan proses yang kompleks dan terintegrasi dari berbagai aspek, seperti bukti ilmiah tepercaya, kepakaran praktisi, karakteristik, kebutuhan, nilai, dan preferensi pasien. Bukti ilmiah dari studi tepercaya diperlukan untuk membantu pengambilan keputusan di level mikro sampai kebijakan tingkat tinggi di level makro.

Pengambilan keputusan pada sektor kesehatan tanpa memanfaatkan bukti ilmiah akan menyebabkan rendahnya efektivitas, efisiensi, dan kelayakan pada sistem kesehatan, sehingga berujung pada ketidakpuasan banyak pihak.

Untuk menghasilkan kebijakan yang tepat dan bermanfaat, perlu dilakukan perumusan dengan memanfaatkan bukti ilmiah tepercaya, khususnya studi pada populasi di Indonesia. Rani Sauriasari menyoroti pentingnya penelitian kesehatan berbasis biokimia klinik di populasi Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyakit tidak menular kronis.

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit tidak menular kronis yang masuk dalam kategori kedaruratan kesehatan terpesat pada abad ke-21. Penyakit ini memiliki prevalensi yang meningkat pesat, baik secara nasional maupun global. Menurut International Diabetes Federation (IDF) melalui Diabetes Atlas, jumlah penderita diabetes di Indonesia pada 2021 sebanyak 19,5 juta jiwa dan diperkirakan bertambah hingga 23,5 juta jiwa pada 2030. Data ini menempatkan Indonesia di urutan kelima di dunia setelah China, India, Pakistan, dan Amerika Serikat.

Beberapa studi melaporkan bahwa kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus di Indonesia masih suboptimal dan banyak pasien yang mengalami komplikasi. Komplikasi diabetes melitus, seperti gagal ginjal, menjadi penyakit katastropik yang memerlukan perawatan lama dan biaya besar. Jika tidak dicegah, hal ini akan menjadi beban kesehatan terbesar bagi negara. Selain itu, komplikasi ginjal pada diabetes melitus yang dikenal sebagai penyakit ginjal diabetik sering kali terlambat diketahui karena keterbatasan pemahaman perkembangan penyakit (patogenesis).

Menurut Rani, perkembangan penyakit ini melibatkan berbagai mekanisme, sehingga biomarker tunggal tidak cukup untuk menggambarkan keseluruhan proses yang terjadi. Sebagai gantinya, sebuah panel biomarker dianggap lebih mewakili berbagai mekanisme perkembangan penyakit dan memiliki potensi sebagai biomarker yang lebih akurat. Berdasarkan hasil kajian, ada tiga kelompok biomarker dalam patogenesis penyakit ginjal diabetik, yaitu biomarker terkait kerusakan glomerulus, biomarker terkait inflamasi, dan biomarker terkait kerusakan tubulus.

Penyakit ginjal diabetik melibatkan berbagai proses patogenesis yang menyebabkan perubahan biokimiawi tubuh. Informasi dari parameter biokimia berguna untuk proses pemilihan tindakan yang sesuai dengan kebutuhan pasien, sehingga tercapai luaran yang diinginkan, terhindar dari timbulnya efek samping, serta mengurangi biaya pengobatan.

“Parameter biokimia bermanfaat dalam mengungkap patogenesis penyakit komplikasi ginjal diabetik melalui metode studi metabolomik dan proteomik. Ini dapat digunakan untuk menilai efektivitas, keamanan, dan kepatuhan pengobatan pasien,” ujar Rani dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FFUI), Rabu (8/3/2023), di Balai Sidang UI, Kampus Depok.

Rani menambahkan bahwa keamanan penggunaan obat harus dipantau melalui berbagai aktivitas farmakovigilans yang bertujuan mendeteksi masalah keamanan obat, mendeteksi peningkatan frekuensi kejadian efek samping pada waktu dan atau populasi tertentu, mengidentifikasi faktor risiko, dan mengkuantifikasi risiko. Selain itu, aktivitas farmakovigilans juga mencakup komunikasi informasi keamanan obat kepada tenaga kesehatan, stakeholder terkait, dan masyarakat.

Pencegahan meluasnya kejadian tidak diinginkan (KTD) dalam kasus penyakit ginjal dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran dan keterampilan tenaga kesehatan dalam melakukan deteksi dan pelaporan KTD kepada regulator. Pasien dan tenaga kesehatan dapat melaporkan KTD yang dialami atau diketahui saat menggunakan obat kepada Pusat Monitoring Efek Samping Obat (Pusat MESO) Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui laman https://e-meso.pom.go.id/ dan aplikasi e-meso mobile.

Data hasil laporan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung studi penggunaan obat pada populasi Indonesia yang diperlukan dalam pengambilan keputusan berbasis bukti guna meningkatkan kualitas kesehatan sumber daya manusia Indonesia.

Berkat temuannya ini, Prof apt Rani Sauriasari MMedSci PhD berhasil dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Biokimia Fakultas Farmasi UI. Prosesi pengukuhan tersebut dipimpin oleh Rektor UI Prof Ari Kuncoro SE MA PhD dan dihadiri beberapa undangan, antara lain Ketua BPOM Periode 2010-2011 Kustantinah; CEO Media Group-Metro TV Mohammad Mirdal Akib; Direktur PT Taisho Pharmaceutical Indonesia Budhy Herwindo; dan Researcher at Integrative Pharmacogenomics Institute, Universiti Teknologi Mara, Malaysia, Dr Richard Muhammad Johari James.

Prof Rani menyelesaikan pendidikan di UI untuk S1 Farmasi (1999) dan program profesi Apoteker (2000). Ia kemudian menempuh studi pascasarjana di Department of Public Health, Graduate School of Medicine, Dentistry, and Pharmaceutical Sciences, Okayama University, Jepang, pada 2007. Masih di kampus dan departemen yang sama, ia mendapat gelar PhD pada 2011. Saat ini, selain menjadi staf pengajar di FFUI, Rani juga menjabat sebagai Manajer Kerjasama, Ventura, dan Hubungan Alumni FFUI.

Beberapa karya ilmiah terbaru yang ditulis olehnya, antara lain Role of Urinary H2O2, 8-iso-PGF2α, and Serum oxLDL/β2GP1 Complex in the Diabetic Kidney Disease (Plos One, 2022); Treatment Adherence and Incidence of Coronary Heart Disease in Type 2 Diabetes Mellitus Patients (Patient Preference and Adherence, 2022); dan Current Updates on Protein as Biomarkers for Diabetic Kidney Disease: A Systematic Review (Therapeutic Advances in Endocrinology and Metabolism, 2021).