Sekretaris Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI), Prof Dr drg Indang Trihandini, MKes, mengukuhkan Prof Dr dr Erni Juwita Nelwan, PhD, SpPD, K-PTI, FACP, FINASIM sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran (FK) UI, pada Rabu (8/11), di Aula IMERI, Kampus UI Salemba. Prof Erni dikukuhkan sebagai guru besar setelah menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Masalah Penyakit Tropik Infeksi di Indonesia: Tantangan Saat Ini dan Peluang Masa Depan”.

Pada kesempatan itu, Prof Erni menyampaikan bahwa sebagai negara tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia masih dihadapkan pada masalah kesehatan, khususnya penyakit tropik dan infeksi, seperti malaria, Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), tuberkulosis, dan hepatitis. Lonjakan kasus malaria di Indonesia mencapai 400 ribu kasus pada 2022, yang menunjukkan kenaikan 1,5 kali lipat dari tahun sebelumnya. Hingga saat ini, tercatat baru lima provinsi di Indonesia yang memiliki status eliminasi malaria 100 persen, yakni DKI Jakarta, Bali, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Beberapa penyakit masih menunjukkan angka prevalensi yang tinggi, mulai dari Demam Berdarah Dengue (DBD) hingga diare (pada 2021 mencapai dua juta kasus) dan demam tiroid. Selain itu, neglected tropical diseases (NTD) atau penyakit tropik terabaikan juga ditemukan secara sporadis di Indonesia, di antaranya infeksi cacing, rabies, gigitan ular berbisa, dan leptospirosis. Di samping NTD, penyakit infeksi emerging seperti Monkeypox dilaporkan kembali muncul pada tahun ini dengan 38 kasus dan terus bertambah.

Menurut Prof Erni, Indonesia merupakan negara dengan peningkatan kasus penyakit infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tercepat di Asia. Adanya populasi kunci—pengguna narkoba suntik (penasun) dan kelompok dengan kontak seksual berisiko—menyebabkan angka infeksi di kelompok ini mencapai hampir 30 persen. Sementara itu, populasi HIV nasional ada di angka 0,2 persen. Penelitian menunjukkan bahwa 1 dari 2 penasun pernah berada di lembaga pemasyarakatan (lapas), sehingga populasi ini harus diperhatikan agar infeksi tidak menular ke masyarakat.

“Penanganan penyakit tropik dan infeksi perlu melibatkan berbagai pihak. Banyaknya kasus yang ditangani tidak sebanding dengan jumlah dokter subspesialis penyakit tropik infeksi yang tidak sampai 100 orang di seluruh Indonesia. Padahal, dokter subspesialis penyakit tropik infeksi harus melayani dan merawat pasien, menjadi tim ahli dalam pembuatan kebijakan nasional, melakukan penelitian dan pengajaran, serta memberikan edukasi kepada masyarakat,” kata Prof Erni.

Sampai saat ini, berbagai penelitian untuk diagnosis, pengobatan, dan usulan kebijakan, maupun penelitian dasar untuk mempelajari sebab dan perjalanan penyakit telah dilakukan. Sebagai contoh, penelitian skrining HIV pada warga binaan pemasyarakatan yang baru memasuki lapas terbukti efektif untuk mendiagnosis HIV secara dini, sehingga diadopsi menjadi kebijakan nasional. Adanya skor klinis untuk diagnosis penyakit infeksi, seperti demam tifoid, dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosis dengan lebih akurat sekaligus mencegah penggunaan antibiotika yang tidak tepat.

Selain penelitian diagnostik, uji klinis vaksin malaria falciparum pada prajurit yang sedang bertugas di Papua kini sedang berlangsung. Penelitian ini merupakan kolaborasi antara peneliti FKUI, peneliti Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Sanaria® selaku sponsor vaksin. Di samping itu, optimasi pengobatan untuk mencegahan kekambuhan pada malaria vivax juga tengah dilaksanakan.

Fakta bahwa Indonesia sebagai destinasi wisata dunia, namun memiliki potensi penularan penyakit tropik dan infeksi tidak boleh dilupakan. Meski menghadapi berbagai tantangan, kemajuan ilmu dan teknologi, terutama Artificial Intelligence (AI), dapat dimanfaatkan. AI berguna untuk analisis big data, penelitian biomolekular, dan genomik untuk meningkatkan proses diagnosis yang lebih cepat. Prof. Erni melihat peluang ini harus direspons secara aktif melalui kerja sama nasional dan internasional, karena Indonesia dinilai dapat menjadi sumber utama pembelajaran berbagai penyakit tropik dan infeksi bagi dunia kesehatan global.

Sebelum melakukan kajian tentang penyakit tropik infeksi, Prof. Erni banyak melakukan penelitian serupa. Beberapa di antaranya adalah Expanded Dengue Syndrome in Diabetic Patient with History of Covid-19 Infection: A Case Report (2023); Association of G6PD Status and Haemolytic Anaemia in Patients Receiving Anti-Malarial Agents: A Systematic Review and MetaAnalysis (2023); dan Optimizing Antibiotic Use in Indonesia: A Systematic Review and Evidence Synthesis to Inform Opportunities for Intervention (2022).

Prof Dr dr Erni Juwita Nelwan, PhD, SpPD, K-PTI, FACP, FINASIM menamatkan pendidikan Dokter (2001), Spesialis Penyakit Dalam (2007), Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi (2013), dan Doktor (2021) di FKUI. Pada 2017, ia juga memperoleh gelar Doctor of Philosophy dari Radboud University Nijmegen Medical Centre, Netherlands. Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Divisi Penyakit Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI-RSCM.

Prosesi pengukuhan guru besar Prof. Erni turut dihadiri oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Prof dr Bachti Alisjahbana, PhD, SpPD, K-PTI; Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu, MKed(Ped), SpA(K), PhD(CTM); Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof Dr dr Ketut Tuti Parwati Merati, SpPD, K-PTI; Dekan Pertama Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Pertahanan RI, Mayjen TNI Dr dr Finekri Abidin, SpOG, SubspKFM, MARS, MH; Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr Maria Endang Sumiwi, MScPHl; dan Director Oxford University Clinical Research Unit Indonesia (OUCRU ID), Prof J Kevin Baird, PhD, FASTMH.