Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Komunikasi dengan promovendus atas nama Ressi Dwiana. Ia menyampaikan penelitian disertasinya dengan judul “Kemunduran Radio Komunitas di Indonesia (Studi Ekonomi Politik tentang Relasi Kuasa dalam Pengaturan Penyiaran di Indonesia)”.

Promotor Ressi adalah Dr Ade Armando MS dengan Kopromotor Mario Antonius Birowo MA PhD. Penguji dalam sidang ini adalah Dr Eni Maryani MSi (Universitas Padjadjaran), Dr Irwa Rochimah MSi (Universitas Al-Azhar Indonesia), juga Dr Nina Mutmainnah MSi, Dr Pinckey Triputra MSc, dan Dr Eriyanto MSi dari Universitas Indonesia.

Sidang terbuka promosi doktor tersebut diketuai Dr Arie Setiabudi Soesilo MSc yang juga menjabat sebagai Dekan FISIP UI. Ressi menjalani sidang terbuka secara daring pada Senin (11/1/2021), dan lulus dengan predikat cum laude.

Disertasi Ressi bertujuan untuk memaparkan upaya para pendukung radio komunitas dalam mempertahankan eksistensi penyiaran tersebut di tengah kondisi regulasi yang mempersulit penyiaran komunitas. Regulasi, berupa produk hukum dan proses implementasinya, diasumsikan sebagai penyebab utama kemunduran radio komunitas. UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 adalah regulasi yang mengakui keberadaan penyiaran komunitas.

Meskipun demikian, di dalam UU tersebut, radio komunitas dituntut agar menjadi penyiaran yang utopis: bersifat independen, tidak komersial, dan melayani kepentingan komunitasnya. Di sisi lain, tidak ada dukungan nyata dari negara, bahkan dalam aturan-aturan pelaksanaan, pemerintah membuat batasan-batasan yang sangat ketat sehingga mempersulit kehidupan radio komunitas.

Ressi menemukan bahwa pada awal reformasi, eksistensi dan legalitas radio komunitas didukung oleh gerakan masyarakat sipil yang terdiri atas lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan praktisi radio komunitas bersama dengan politisi di DPR. Namun, pemerintah (eksekutif) sejak awal tidak ingin penyiaran komunitas diakui di dalam sistem penyiaran Indonesia.

Ressi memaparkan, setelah pengakuan radio komunitas di dalam UU No 32/2002, pemerintah membuat aturan pelaksanaan berupa PP No 51/2005 yang memberi batasan yang sangat ketat terhadap radio komunitas. Spirit demokratisasi yang ada di dalam UU Penyiaran tidak lagi menjiwai aturan-aturan pelaksanaannya.

Salah satu permasalahan yang timbul akibat pengaturan di dalam PP No 51/2005 adalah masalah perizinan. Berdasarkan PP 51/2005, perizinan radio komunitas harus diurus sampai di tingkat menteri dengan memenuhi beberapa persyaratan, termasuk badan hukum yang juga harus diurus hingga di tingkat menteri.

Selain prosedur, perizinan awal membutuhkan dana untuk membayar: biaya izin prinsip, biaya izin tetap, dan biaya perpanjangan izin tetap. Untuk mendapat izin penyiaran, radio komunitas harus memiliki perangkat bersertifikat. Harga perangkat ini dapat mencapai empat kali lipat lebih mahal dari perangkat rakitan dengan kualitas yang lebih rendah.

Setelah beroperasi, stasiun radio harus membayar Izin Stasiun Radio (ISR), Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), PPh, dan BPJS TK (di beberapa wilayah). Masalah pembayaran ini menjadi penyebab utama pencabutan izin radio komunitas.

Kesimpulan penelitian ini di antaranya bahwa UU No 32/2002 memuat aturan yang fleksibel tentang radio komunitas, dengan asumsi bahwa di dalam aturan pelaksanaannya (PP) dapat diturunkan secara lebih mendetail. Namun, PP No 51/2005 justru memberikan aturan yang sangat menekan kehidupan radio komunitas.

Beberapa aturan yang ditentang oleh para pendukung radio komunitas, yaitu keharusan berbadan hukum koperasi atau perkumpulan, batasan radius siaran 2,5 kilometer, alokasi frekuensi diatur dengan peraturan menteri.