Saat ini, bahasa memiliki peran yang semakin kuat dalam memecahkan perkara hukum, salah satunya ditandai dengan perkembangan linguistik forensik. Linguistik forensik merupakan persilangan antara bahasa, kejahatan, dan hukum yang melibatkan aparat penegak hukum, urusan pengadilan, legislasi, perseteruan di pengadilan, dan sebagainya. Dengan adanya linguistik forensik, perkara hukum yang ditimbulkan oleh bahasa dapat lebih mudah ditangani.
Adanya keterbukaan dan kebebasan informasi dengan dibukanya katup-katup melalui media sosial, di satu sisi menimbulkan persoalan ketika banyak masyarakat yang belum paham bahwa ada etika dalam berbahasa. Akan tetapi, di sisi lain, hal tersebut mendorong kolaborasi antara ahli hukum dan para bahasawan untuk menyelesaikan kasus pidana dan perdata yang berkaitan dengan bahasa.
Sebagai sistem semiotika sosial, bahasa merupakan tanda yang dibagi secara sosial. Moda bahasa dapat berupa lisan (bunyi bahasa) atau tulisan (ejaan dan tanda baca). Dalam penyampaian tanda, bahasa dapat dikombinasikan dengan tanda bermoda lain, misalnya visual (gambar dan video). Moda-moda ini dapat disatukan untuk menyampaikan makna. Kombinasi moda (multimodalitas) inilah yang dapat dijadikan data dalam analisis linguistik forensik (teks forensik). Teks ini berimplikasi pada konteks hukum dan konteks kriminal.
Dalam mengkaji teks forensik, konteks di mana teks itu muncul juga harus diperhatikan. Konteks adalah semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, misalnya lingkungan kebahasaan, fisik, atau mental yang dirujuk oleh pemakai.
Misalnya, ada unggahan di media sosial tentang hinaan kepada seseorang atau lembaga. Unggahan tersebut berupa visual, audio, dan tulisan. Maka, ketiga moda tersebut harus dikaji, apakah ada unsur kejahatan di dalamnya jika merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditetapkan oleh pemerintah.
Menurut Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI), Dr Untung Yuwono, ketika ahli bahasa diminta untuk menerjemahkan bukti dalam sebuah kasus, ia harus menunjukkan penguasaannya sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
“Linguistik forensik adalah linguistik yang melihat akar suatu permasalahan yang berhubungan dengan hukum. Ketika kita menerjemahkan, apalagi penerjemah tersumpah, itu artinya harus bisa menunjukkan penguasaannya karena jika salah tentu akan menjadi masalah juga di hukum,” kata Untung.
Ia menyebut bahwa lingkup linguistik forensik tidak hanya terbatas pada kasus-kasus di media digital, tetapi lebih luas lagi. Linguistik forensik bahkan masuk ke dunia akademik, seperti isu plagiarisme. Menurutnya, mesin-mesin pengecekan plagiarisme belum tentu menggambarkan tindak plagiarisme hanya karena uji kemiripannya tinggi, sehingga perlu dilakukan pengecekan ulang oleh ahli bahasa.
Untuk meningkatkan kemampuan ahli bahasa di bidang linguistik forensik, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB FIB UI) mengadakan Pelatihan Linguistik Forensik, pada Februari lalu. Untung mengatakan, kegiatan tersebut akan terus dilanjutkan dengan tujuan untuk memberikan pembelajaran kepada masyarakat, khususnya kepada para profesional.
“Kita juga bisa kembangkan kegiatan ini dengan program lain, misalnya kerja sama antar-universitas terkait linguistik forensik, seminar, serta sertifikasi bagi pegiat linguistik forensik, terutama dalam saksi ahli bahasa,” ujarnya.