Belakangan ini, publik tengah membicarakan tentang sistem pemilihan umum (pemilu) dari coblos nama calon legislatif (caleg) menjadi coblos gambar partai. Dengan kata lain, perubahan dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Dr Sri Budi Eko Wardani, SIP, MSi, menjelaskan bahwa sejak pemilu pertama yang diselenggarakan pada 1955 sampai dengan saat ini, Indonesia menganut sistem pemilu proporsional tersebut. Hal ini atas dasar pertimbangan keragaman dan kemajemukan masyarakat Indonesia yang kecenderungannya memiliki banyak partai sehingga sistem proporsional dianggap lebih tepat.

Menurut Dr Wardani, sistem proporsional terbuka memungkinkan orang dapat memilih daftar nama calon legislatif. “Kelebihan dari sistem ini, memang ada hubungan yang terbangun antara pemilih dengan caleg yang dipilih. Lalu, dalam sistem ini juga aspirasi pemilih lebih menentukan siapa yang terpilih, tetapi dalam sistem tertutup ditentukan oleh aspirasi elite partai,” ujar Dr Wardani.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, secara teknis dalam penerapan sistem proporsional tertutup, orang hanya dapat memilih tanda gambar partai. Sistem ini berlaku sejak masa Orde Baru dari 1971 sampai dengan 1997. Saat itu, jumlah partai dibatasi hanya tiga.

Dr Sri Budi Eko Wardani, SIP, MSi

Pada sistem ini, daftar caleg tidak ditampilkan dalam surat suara, hanya diumumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Nantinya, mereka yang terpilih adalah berdasarkan nomor urut, dan nomor urut tersebut ditentukan oleh mekanisme di internal partai.

Dr Wardani menambahkan, selalu ada perdebatan dalam setiap isu revisi Undang-Undang Pemilu, seperti pada 2017 ada kelompok yang pro dengan sistem proporsional tertutup, namun ada juga yang pro dengan sistem proporsional terbuka. “Tapi menurut saya, keputusan ini tidak bisa diputuskan di tengah jalan. Tunggu saja sampai pemilu 2029 dengan revisi UU Pemilu, karena saat ini situasinya daftar caleg sudah masuk ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka akan merugikan caleg itu sendiri terutama caleg perempuan yang jumlahnya tidak sebanyak caleg laki-laki,” kata Dr Wardani.

Pada masa Orde Baru, sistem pemilu mengunakan proporsional tertutup, sehingga ada mobilisasi dari partai politik untuk memilih partai tertentu tanpa kenal siapa caleg yang akan terpilih. Selama masa tersebut, partai tidak terbuka dan tidak memiliki kewajiban untuk memublikasikan calegnya. Untuk itu, sistem pemilu proposional terbuka dilakukan untuk mengurangi mobilisasi dan dominasi dari partai tertentu, seperti yang sudah terjadi pada zaman Orde Baru.

“Saya pribadi, melihat sistem pemilu proporsional terbuka masih penting saat ini. Hal ini untuk mendorong reformasi partai politik karena kekuatan elite partai dominan sangat kuat dan mampu meminggirkan kandidat caleg yang memilki potensi. Jadi, dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini, dari sisi kemampuan pemilih dalam menentukan pilihannya, maka kedaulatan rakyat itu ada pada sistem proporsional terbuka,” ujar Dr Wardani.