Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Indonesia (UI), Prof Dr rer nat Abdul Haris, menyampaikan tentang pentingnya master plan untuk keberlanjutan transformasi digital di kalangan pustakawan. Perpustakaan diharapkan dapat bertransformasi menjadi tempat yang lebih menarik bagi masyarakat. “Transformasi digital diharapkan mampu mendukung pendidikan dan penelitian yang justru belum pernah terbayang sebelumnya. Oleh sebab itu, virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) bukanlah masa depan, melainkan masa kini yang perlu kita pelajari,” ujarnya.

Prof Haris mengatakan hal itu dalam webinar yang diselenggarakan oleh Perpustakaan UI dengan tema “Digital Transformation in Libraries: Implementation of Virtual Reality and Augmented Reality”. Penyelenggaraan event tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran pustakawan dalam memanfaatkan teknologi VR dan AR yang semakin marak sejak pandemi Covid-19.

Sebagai bagian dari rangkaian “Crystal of Knowledge Festival”, acara tersebut menghadirkan dua narasumber, yakni Rektor Universitas, Pradita Prof Richardus Eko Indrajit, dan Kepala Perpustakaan Universitas Bina Nusantara, Dr Meiliana, SKom, MSc. Pada kesempatan itu, Prof Richardus memberikan pemahaman bahwa pemanfaatan VR dan AR tidak serumit yang dipikirkan. Ia menganalogikan pemanfaatan VR dan AR seperti penggunaan e-learning untuk menunjang proses pembelajaran di kelas.

“Teknologi bukan untuk menggantikan manusia atau perpustakaan, melainkan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pengguna. Beberapa unsur humanis pada dasarnya tidak dapat divirtualkan, seperti kenikmatan berdoa di rumah ibadah atau membaca buku fisik di perpustakaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa keberadaan teknologi perlu disikapi dengan bijak agar mempermudah kerja pustakawan di masa sekarang,” kata Prof Richardus, pada acara yang berlangsung Rabu lalu (11/10).

Ia juga menyebut bahwa transformasi digital bukan sekadar digitalisasi, melainkan berfokus pada meet the unmet needs. Dalam hal ini, pemanfaatan VR dan AR merupakan langkah nyata untuk mewujudkan kebutuhan yang tidak dipenuhi sebelumnya, seperti memberi kesempatan bagi orang asing untuk berkunjung secara virtual ke perpustakaan yang berada di negara yang berbeda. Selain itu, VR dan AR merupakan alternatif, bukan komparatif. “Tidak mungkin bagi kita untuk bongkar-pasang mobil Alphard secara langsung, sehingga keberadaan VR membantu kita untuk
merasakan pengalaman yang mungkin tidak dapat diwujudkan pada objek nyata,” ujar Prof Richardus menambahkan.

Pada webinar tersebut, Dr Meiliana juga berkesempatan membagikan pengalaman penggunaan VR dan AR di Library of Knowledge Center (LKC) Bina Nusantara. Ia menampilkan contoh VR berupa pengalaman memasak soto secara virtual dan contoh AR dalam bentuk game dengan ruang kelas sebagai media. VR dalam hal ini berfungsi untuk menggantikan semua objek nyata dengan objek digital, sedangkan AR mampu menambahkan objek nyata dengan objek digital. Selain VR dan AR, dalam extended reality, terdapat pula mixed reality (MR)—yang merupakan gabungan dari konsep VR dan AR—dan 360 video.

“Untuk pengembangan perpustakaan, VR dan AR dapat diimplementasikan dalam bentuk interactive exhibits and displays, directory, multimedia content, virtual tour, interactive map, dan virtual assistant. Dari semua itu, virtual tour merupakan jenis yang paling applicable untuk diterapkan oleh pustakawan. Meski bukan sebagai creator, tetapi hanya sebagai user, pustakawan harus terus belajar dan memiliki sikap willing to learn yang terus menyala sepanjang hayat,” ujar Dr Meiliana.

Kepala UPT Perpustakaan UI, Mariyah, SSos, MHum, menyampaikan bahwa webinar tentang pemanfaatan VR dan AR ini dilaksanakan sekaligus untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-40 Perpustakaan UI. Ia berharap, pustakawan dapat memahami urgensi dari VR dan AR, sehingga mampu memanfaatkannya untuk memberikan pelayanan yang lebih efektif bagi pemustaka. Ia mengatakan, “VR dan AR bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban bagi pustakawan agar tetap relevan di tengah era transformasi digital.”