Chat Generative Pre-Trained Transformer (ChatGPT) merupakan salah satu produk AI yang diciptakan untuk memenuhi keingintahuan manusia mengenai segala hal. ChatGPT mengalami perkembangan yang sangat cepat, sejak generasi pertama diperkenalkan pada 2018, dan terakhir dirilis ChatGPT generasi keempat tahun 2023, yang kemampuannya lebih dari 10 kali lipat dari generasi pertama.
Dalam bidang pendidikan, mahasiswa dan murid bisa menanyakan soal ujian dari bidang ilmu apa saja, bahkan dapat dimanfaatkan untuk penyusunan karya tulis hanya dengan memasukkan kata kunci tertentu. Meski begitu, kemampuan ChatGPT yang sangat tinggi membuka peluang terbukanya fenomena paralel atau dua sisi mata uang, yakni sisi terang teknologi berupa kemudahan yang luar biasa bagi para pembelajar di dunia pendidikan; dan sisi gelap teknologi, baik dari aspek keterbatasan teknologi, persoalan etika, dan bahkan terbelenggunya sisi kemanusiaan.
Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer UI Prof Drs Heru Suhartanto MSc PhD dari sisi terang manfaat ChatGPT, ada sekitar 80 cara untuk memanfaatkan ChatGPT di ruang kelas dengan kemampuan, kecepatan, dan akurasi penyediaan informasi. Hal ini diamini Ketua Panitia Webinar Prof Dr Ir Riri Fitri Sari MSc MM yang menyebut bahwa ChatGPT dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan teks berkualitas melalui konsep reimagine education.
“Ini karena ChatGPT memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan dengan akurasi yang tinggi dan mengambil informasi dari sumber daya eksternal, seperti Wikipedia. Selain itu, ChatGPT juga dapat digunakan untuk menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lain dengan akurasi yang baik serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan teks yang tidak lengkap dengan menggunakan konteks dan informasi yang diberikan,” ujar Prof Riri.
Meski demikian, ada sisi gelap dari penggunaan ChatGPT yang juga harus diperhatikan, seperti misinformation, disinformation, dan malinformation yang berdampak pada persoalan hukum dan etika. Bahkan, persoalan hukum yang bertingkat pada level kebijakan global dan nasional sudah diidentifikasi. Beberapa dampak buruk penggunaan ChatGPT adalah akurasi yang tidak 100 persen karena data yang diambil dari internet kurang lengkap. Ketidaklengkapan ini bisa disebabkan kurangnya konteks.
Menurut Guru Besar Fasilkom UI Prof Dr Wisnu Jatmiko MKomEng, ChatGPT cerdas tetapi dapat salah memahami konteks sehingga menghasilkan output yang tidak benar. ChatGPT dilatih dengan data, dan jika data tersebut bias, mesin juga akan bias. Selain itu, pemanfaatan ChatGPT yang tidak tepat juga dapat menumpulkan pemikiran kritis mahasiswa. Padahal, salah satu hal paling berharga yang dapat dikembangkan oleh mahasiswa adalah pemikiran kritis.
“Jika jawaban dari seluruh pertanyaan selalu tersedia di ujung jari mereka, mereka merasa tidak perlu berpikir sendiri. Misalnya, seorang mahasiswa meminta ChatGPT untuk menuliskan esai untuk mereka, hal itu tidak hanya membuat kurangnya pemikiran asli, tetapi juga merupakan bentuk plagiarisme,” ujar Prof Wisnu.
Melihat sisi terang dan gelap dari penggunaan ChatGPT, Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Dr Fuad Gani SS MA menyebutkan perlunya bersikap bijak dalam memanfaatkan ChatGPT. Perguruan tinggi tidak dapat lepas dari persaingan masa depan, terutama dalam hal teknologinya, sehingga harus tetap berusaha untuk menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Ia mengatakan, “Perguruan tinggi sebaiknya menerima bahwa AI sedang dan akan terus digunakan. Alat AI akan terus berkembang dan menjadi semakin penting dalam berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi perlu mengeluarkan pedoman yang lentur dan luas karena teknologi AI akan terus berkembang dengan cepat.”
Pada webinar tersebut, Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI Dr (HC) Noni Purnomo BEng MBA dan anggota Senat Akademik Prof Dr-Ing Kalamullah Ramli MEng juga hadir untuk memberi tanggapan. MWA menyampaikan dorongannya atas pemanfaatan teknologi AI sebagai enabler untuk kemaslahatan human being.
Sementara itu, SA UI menyadari perannya sesuai dengan Statuta UI dalam pengawasan pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi, termasuk dampak penggunaan ChatGPT. Oleh karena itu, disarankan untuk merumuskan regulasi tingkat universitas terkait penegakan etika pemanfaatan teknologi AI.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Prof Dr rer nat Abdul Haris juga menekankan bahwa fenomena dua sisi mata uang teknologi serta fenomena paralel ChatGPT harus dimanfaatkan dengan hati-hati dan bijak.
Para dekan yang hadir, antara lain Dekan Fakultas Farmasi Prof Dr apt Arry Yanuar MSi, Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Agus Setiawan SKp MN DN, Dekan Fakultas Hukum Dr Edmon Makarim SKom SH LLM, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Prof Dr Semiarto Aji Purwanto, dan Dekan Fakultas Psikologi Dr Bagus Takwin MHum Psikolog, juga turut menanggapi fenomena ChatGPT.
Beberapa tanggapan dari para dekan, antara lain terkait perubahan atau penyesuaian paradigma pendidikan dan pembelajaran untuk mempersiapkan mahasiswa atas kehadiran teknologi termasuk ChatGPT. Proses pembelajaran yang melatih art of writing dan art of argument tidak tergantikan oleh teknologi.
Oleh karena itu, perlu ditekankan pentingnya higher order thinking, utamanya dari aspek kecerdasan manusia yang tidak tergantikan dengan teknologi. UI perlu melakukan reimagine education dengan memanfaatkan sisi terang teknologi ChatGPT, dengan sekaligus meminimalisasi sisi gelap teknologi ChatGPT pada dunia pendidikan.
Webinar yang diselenggarakan Komite I dan Komite V DGB UI dan dimoderatori oleh Guru Besar FIB UI Prof Dr Bambang Wibawarta MA ini juga memberikan catatan terkait regulasi tingkat undang-undang (UU) sebagaimana telah diberlakukan di beberapa negara. Hal tersebut perlu juga didalami kaitannya dengan UU yang sudah ada, termasuk UU tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Catatan-catatan tersebut dirangkum oleh Prof Dr Sudarsono Hardjosoekarto dari FISIP UI dan Prof Dr dr A Fauzi Kamal SpOT(K) dari Fakultas Kedokteran UI.