Prof Dr dr Budi Wiweko SpOG-KFER MPH, Wakil Direktur IMERI-FKUI, menjelaskan tentang teknologi mahadata (big data), yaitu sebuah potensi pelayanan kesehatan pada masa mendatang, dalam kegiatan Seminar Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI), Kamis (25/3/2021).

Ia memaparkan, mahadata memerlukan proses pengumpulan informasi dari berbagai sumber menuju sebuah pusat penyimpanan. Setelah itu, para ahli data akan membaca, mengedit, melakukan analisis, serta menampilkan menjadi sebuah algoritma kesehatan.

Sumber mahadata dalam bidang kesehatan diperoleh dari rumah sakit, laboratorium, emergency, disease registries, biobank, dan sebagainya. Kendala yang akan dihadapi dari penggunaan mahadata ini adalah storage, data analytic, visualization, dan reporting. Mahadata yang dikelola dengan baik akan menjadi sebuah informasi, knowledge, dan sebuah policy. Pada masa depan, mahadata akan menjadi suatu jenis pelayanan kesehatan baru.

Mahadata yang telah diolah dapat menjadi “model” dan dapat digunakan untuk pengobatan. Misalnya, dari mahadata dapat diketahui bahwa dalam 10 tahun ke depan, seseorang dapat mengidap suatu penyakit seperti cenderung rentan darah tinggi, atau rentan mengidap penyakit kanker payudara. Saat ini, semua negara berlomba-lomba membangun genom institute seperti Singapura, China, dan Malaysia.

Dengan adanya mahadata, lahirlah “Kedokteran Presisi” yang merupakan pelayanan kesehatan individu berbasis genetik, perilaku, dan lingkungan. Fokusnya adalah pada perkembangan aspek genetik dan ketersediaan data kesehatan yang mendorong terwujudnya pelayanan kesehatan individu secara tepat.

Selain itu, mahadata erat kaitannya dengan teknologi. Perkembangan teknologi digital dalam layanan kesehatan di antaranya personal health devices (jam yang dapat mengukur detak jantung), knowledge integrates (artificial intelegence), pharmaceuticals (pengembangan obat-obatan), diagnostics, health information, dan lain-lain.

“Saat ini, aplikasi kedokteran presisi di seluruh dunia sudah dapat memprediksi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aplikasi yang terkenal adalah yang digunakan pada penyakit kanker, contohnya pada kasus Angelina Jolie yang memutuskan untuk mengangkat payudaranya karena melalui aplikasi kedokteran presisi dapat diketahui bahwa dia memiliki risiko 87 persen kanker payudara dan 50 persen kanker ovarium,” jelas Prof Wiweko.

Pemanfaatan kecerdasan buatan dan metode deep learning perlu didukung mahadata yang memerlukan supercomputer dan penyimpanan data yang besar serta lintas sektoral. Kecerdasan buatan akan meningkatkan kecepatan dan akurasi interpretasi gambar.

Bagi fasilitas layanan kesehatan (fasyankes), kecerdasan buatan dapat memperbaiki fitur alur kerja dan mengurangi kemungkinan kesalahan. Sedangkan bagi pasien, kecerdasan buatan memberi manfaat terutama untuk mengolah data kesehatan dirinya yang sangat bermanfaat bagi aspek promotif dan preventif.

Lebih lanjut, Prof Wiweko menjelaskan, kedokteran presisi akan mendukung kesehatan presisi yang memungkinkan individu mengatur perilaku dan lingkungan untuk hidup sehat. Pengumpulan data kesehatan secara pasif dan terus menerus merupakan kunci utama dalam aspek kesehatan presisi. Contohnya, saat seseorang di kamar mandi menggunakan aplikasi Kesehatan Presisi dapat menentukan penyakit dari urinnya.

Manfaat machine learning dan kecerdasan buatan dalam pelayanan kedokteran untuk field clinical dapat memprediksi dan mendiagnosis penyakit, dan efektivitas pengobatan. Pada field translation pengaplikasiannya digunakan untuk penemuan dan penggunaan kembali obat. Kemudian pada field kesehatan masyarakat dapat diaplikasikan sebuah negara untuk mengelola kesehatan daerahnya melalui yang disebut presisi public health.

Salah satu contoh pemanfaatan di Indonesia adalah penggunaan data BPJS yaitu menggunakan data 25.000 ibu hamil. Dari data tersebut, dapat diketahui deteksi dini penyakit yang akan dialami ibu hamil.

Menutup paparannya, Prof Wiweko menyampaikan, kedokteran presisi cukup menjanjikan dalam mendukung aspek promotif, preventif, diagnostik, dan tata laksana penyakit. Selain itu, potensi teknologi kesehatan digital dalam layanan kedokteran presisi harus didukung oleh infrastruktur dan dilindungi dengan regulasi kesehatan.