Universitas Indonesia (UI) melalui Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI (LPEM FEB) bekerja sama dengan Asian Development Bank Institute (ADBI), Graduate School of Public Policy (GraSPP) Universitas Tokyo, dan Toshiba International Foundation menyelenggarakan Forum Kebijakan Riset Asia dengan tema “Infrastructure, Technology, and Finance for Sustainable and Inclusive Development in Asia beyond the Pandemic”.
Kegiatan ini digelar pada 18–19 Februari 2021 secara daring dengan menghadirkan pembicara kunci Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro. Hadir juga para praktisi dan akademisi ahli di bidangnya.
Rektor UI Prof Ari Kuncoro SE MA PhD menyampaikan, webinar ini menjadi agenda tahunan keempat antara UI, ADBI, dan GraSPP Universitas Tokyo. Menurut Prof Ari, pandemi menyebabkan hampir semua negara menghadapi tantangan multidimensi dengan segala keterbatasan. Hal ini mendorong permintaan sumber daya keuangan untuk pemulihan dampak pandemi.
Ia menjelaskan, diperlukan kebijakan strategis sehingga sumber daya terbatas mampu mengatasi masalah yang ada dengan efisien dan efektif. Harapannya, upaya tersebut tidak hanya mengatasi dampak pandemi, tetapi juga memberikan efek pembangunan yang positif.
“Selain itu, saya berharap semua peserta forum mendapat wawasan baru dari diskusi ini dan sarana berbagi ilmu serta pengalaman antar pemangku kepentingan tentang pembangunan infrastruktur sehingga bisa memahami tantangan dan masalah dalam lingkup Asia pada masa mendatang,” jelas Prof Ari.
Narasumber pada hari pertama adalah Rana Hasan (Director Economic Research and Regional Cooperation Department ADB), Koki Hirota (Profesor Graduate School of Humanities and Social Sciences Saitama University), Teguh Dartanto (Wakil Dekan Bidang Akademik dan Riset FEB UI), Seng Molika (Direktur Departemen Umum Sains, Teknologi, dan Manajemen Data Inovasi, Kementerian Perindustrian, Sains, Teknologi, dan Inovasi (Kamboja)), Nguyen Anh Duong (Institut Pusat untuk Manajemen Ekonomi (Vietnam), Meena Nair (Head of Research, Public Affairs Centre India), serta Nicolas Buchoud (Pendiri Renaissance Urbaine Open Discussion).
Menurut Sri Mulyani, perubahan iklim dan teknologi merupakan masalah yang saling berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi inklusif. Ia bahkan melihat kedua isu ini bisa menjadi tantangan sekaligus peluang. Di sisi lain, pemanfaatan teknologi digital masih membuka ruang persoalan sosial, khususnya aksesibilitas jaringan.
Saat ini, lanjut Sri, konektivitas jaringan internet belum merata sehingga wilayah kota masih identik dengan kualitas infrastruktur jaringan yang lebih baik daripada wilayah lainnya. Diperkirakan dari 75.000 desa di Indonesia, baru 20.000 desa yang mendapat akses jaringan internet dan komunikasi memadai.
“Pembangunan infrastruktur menjadi kebutuhan mutlak untuk mengurangi biaya distribusi dan mendorong kemudahan mobilitas masyarakat. Pembangunannya bisa berbentuk penyediaan fasilitas listrik, telekomunikasi, pelabuhan, bandara, air bersih, maupun sanitasi lain. Dengan begitu, standar kualitas hidup masyarakat bisa jauh lebih baik dari sebelumnya,” ujar Sri.
Teguh Dartanto memaparkan, semenjak masa pandemi pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia mengalami penurunan tajam dibandingkan 2019, yaitu minus 2,3 persen. Penurunan ini terjadi karena pandemi Covid-19 menyebabkan banyak negara mengeluarkan kebijakan pembatasan pergerakan sosial yang mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat konsumsi, tertahannya ekspansi bisnis, serta rantai distribusi ekonomi yang terputus. Ini menyebabkan perubahan pada konstruksi infrastruktur sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan perumahan publik.
Lebih lanjut, Teguh mengatakan, negara perlu melakukan penyesuaian sosial infrastruktur dalam masa pandemi. Di antaranya, penyediaan rumah layak huni yang murah, pendirian pusat kesehatan sementara, dan perubahan postur anggaran negara yang berfokus di bidang kesehatan.
Pada hari kedua dalam Forum Kebijakan Riset Asia, Dekan FEB UI Beta Yulianita Gitaharie berharap, forum ini memberikan wawasan pengalaman beberapa negara di Asia terkait upaya dan kebijakan menyesuaikan dan menjaga kualitas layanan infrastruktur yang memadai.
“Pembatasan jarak fisik dan mobilitas sangat memengaruhi pemeliharaan dan pengoperasian proyek pembangunan infrastruktur. Hal tersebut menjadi tantangan bagi pembuat kebijakan yang harus menciptakan dan menyesuaikan sistem infrastruktur agar dapat beradaptasi dengan situasi sekarang,” ujar Beta.
Selanjutnya, Bambang Brodjonegoro memaparkan bahwa Indonesia memiliki visi keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) pada 2035 dan menjadi negara berpenghasilan tinggi (high income country) pada 2045. Indonesia akan melalui tiga fase, yakni memperkuat struktur ekonomi, mempercepat pertumbuhan berbasis inovasi, serta modernisasi ekonomi berbasis kualitas dan berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi dapat tercapai apabila berupaya meningkatkan kualitas industri manufaktur berbasis inovasi. Dengan begitu, visi pembangunan nasional tahun 2045 bisa terwujud.
“Indonesia dapat mencapai pembangunan berkelanjutan dan inklusif dengan bangunan yang lebih baik, akses ke makanan sehat, mobilitas cerdas, penghijauan lingkungan dan kota, serta infrastruktur yang lebih tangguh. Pembangunan ini tidak hanya mendukung peluang ekonomi baru, tetapi juga memastikan akses yang sama ke penciptaan peluang untuk semua segmen masyarakat,” terang Bambang.
Sesi ketiga membahas peran teknologi untuk pembangunan infrastruktur publik. Pembicara yang hadir adalah Edwin Syahruzad, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI); Shinichiro Akiba, Rekan Eksekutif Toshiba Corporation; dan Fauziah Zen, ekonom senior Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).
Pada sesi keempat, yang dibahas adalah peran teknologi dan pembiayaan untuk layanan infrastruktur berkualitas (panel negara). Pembicara yang mengisi forum, yakni Bhubate Samutachak, Asisten Profesor, Lembaga Penelitian Kependudukan dan Sosial, Universitas Mahidol (Thailand); Daeyeon Cho, Direktur Utama, Badan Korea untuk Kemajuan Teknologi Infrastruktur (Korea); Adoracion M Navarro, rekan peneliti senior, Institut Studi Pembangunan Filipina.