Direktorat Inovasi dan Science Techno Park Universitas Indonesia (DISTP UI) menyelenggarakan seminar daring bertajuk “Tantangan & Kebijakan Pengembangan Vaksin Merah Putih untuk Percepatan Penanganan Pandemi Covid-19”, Jumat (22/1/2021).
Kegiatan itu merupakan salah satu upaya UI berkontribusi menanggulangi pandemi Covid-19 di Indonesia, yang bertujuan memaparkan perkembangan pengembangan Vaksin Merah Putih. Seminar tersebut merupakan salah satu upaya mendapatkan masukan publik bagi kajian roadmap pengembangan Vaksin Merah Putih.
Menteri Riset dan Teknologi, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN), Bambang Brodjonegoro, hadir sebagai pembicara kunci. Narasumber lainnya adalah Dr dr Budiman Bela SpMK (Ketua Tim Pengembang Vaksin Merah Putih UI), Prof Dr apt Amarila Malik MSi (Ketua Tim Kajian Roadmap Manajemen Pengembangan Vaksin Merah Putih), dr R Fer Ibrahim MSc PhD SpMK (Ketua Tim Kajian Roadmap SDM Pengembangan Vaksin Merah Putih), dan Indra Rudiansyah MSi (Tim Pengembang Vaksin Oxford-Astra Zeneca UK).
Rektor UI Prof Ari Kuncoro SE MA PhD menyampaikan, meski dalam masa pandemi, peneliti UI turut aktif dalam melakukan riset dan pengembangan produk dari berbagai disiplin ilmu. UI telah melakukan banyak inovasi bagi pemerintah dalam upaya penanggulangan pandemi Covid-19, salah satunya adalah pengembangan vaksin, DNA, dan mRNA.
Webinar ini, kata Prof Ari, merupakan kontribusi UI dengan tujuan vaksin ini dapat bermanfaat bagi Indonesia. Saat ini, vaksin adalah salah satu harapan terbesar masyarakat Indonesia untuk perbaikan kesehatan dan ekonomi. Menurut Romer, model pertumbuhan Endogenous, salah satu modal terbesar ekonomi adalah human capital dan human capital memiliki fungsi memperbaiki kesehatan.
“Diharapkan, vaksin ini nantinya dapat menjadi daya ungkit untuk meningkatkan ekspektasi masyarakat, daya beli masyarakat, sehingga masyarakat dapat kembali berfungsi dan perekonomian dapat berputar kembali pada akhir 2021. Vaksin Merah Putih hasil riset UI diharapkan dapat bersinergi dengan mitra industri farmasi, dengan triple helix antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri dapat terwujud,” ujar Prof Ari.
Menristek memaparkan, webinar ini tidak hanya membahas kebutuhan jangka pendek penyediaan Vaksin Merah Putih, tapi juga kebijakan jangka panjang untuk mendorong kesehatan yang berorientasi preventif di Indonesia. Sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pencegahan terhadap penyakit, vaksin merupakan instrumen utama.
Pemerintah, kata Bambang, melakukan double track, yaitu impor vaksin Sinovac. Di sisi lain mendorong pengembangan kemandirian vaksin, yaitu Vaksin Merah Putih. Vaksin yang ada saat ini, tidak akan menimbulkan daya tahan tubuh seumur hidup, sehingga diperlukan vaksin booster. Oleh karena itu, keberadaan Vaksin Merah Putih merupakan kebutuhan, bukan sebagai pelengkap.
Bambang menambahkan, adanya vaksin yang sudah dikembangkan jauh lebih cepat dari Indonesia, menjadi kesempatan bagi kita untuk mempelajari dan update kemampuan teknologi dalam pengembangan vaksin, terutama pada platform. Kemristek mendorong sebanyak mungkin institusi yang terlibat.
“Karena fokus pemerintah tidak jangka pendek dan adanya berbagai penyakit seperti malaria, demam berdarah, hepatitis B, dan lain-lain. Juga antisipatif terhadap pandemi jenis lain di masa depan. Kemandirian vaksin dan momentum kemampuan pengembangan Vaksin Merah Putih harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kemristek mendorong 6 platform yang saat ini sedang dikembangkan oleh Lembaga Eijkman, LIPI, dan 4 universitas yaitu UI, ITB, Unair, dan UGM,” jelas Bambang.
Ia menyambut antusias karena dalam waktu relatif singkat Kemristek dapat mengidentifikasi institusi mana yang memiliki kemampuan/teknologi dan minat untuk pengembangan vaksin. Penelitian vaksin yang dilakukan UI bernama “Vaksin Merah-Putih Platform UI”, yaitu UI mengembangkan vaksin DNA, mRNA, dan virus-like-particles (VLP). Bambang juga berterima kasih kepada Budiman Bela dan tim yang telah berupaya mengembangkan sesuatu yang baru melalui DNA, mRNA, dan VLP.
Triple Helix Percepatan Pengembangan Vaksin diperlukan kerja sama dari industri, pemerintah dan akademisi. Selain biofarma, ada PT Biotis, Tempo Scan, dan Kalbe Farma berinvestasi untuk pengembangan vaksin.
Menurut Menristek, Indonesia sebaiknya tidak bergantung pada vaksin impor utuh sehingga Indonesia mendorong potensi kerja sama dengan industri farmasi swasta di bawah koordinasi PT Bio Farma guna memenuhi kebutuhan vaksin di Indonesia. Diharapkan nantinya dapat mengekspor vaksin.
Selain potensi, tugas Kemristek merangkai kerja sama riset dan inovasi dari hulu sampai hilir untuk mewujudkan kemandirian vaksin di Indonesia. Mengenai tantangan pengembangan vaksin di Indonesia, Menristek menyampaikan hanya memiliki satu pabrik vaksin, yaitu Biofarma, yang sanggup memproduksi vaksin dengan 2 platform yaitu in-activity virus seperti Sinovac, dan protein rekombinan.
Hal tersebut menjadi peluang bahwa industri vaksin di Indonesia prospektif, karena pengembangan vaksin tidak akan berhenti produksi selain kebutuhan pandemi. Juga untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa.
Ia berharap pada dua tahun ini, keberadaan vaksin dapat menciptakan herd immunity sehingga keseimbangan antara pemulihan ekonomi dengan pemulihan kesehatan dapat tercapai. Dengan demikian, masyarakat dapat beraktivitas kembali dengan normal.
Direktur Direktorat Inovasi dan Science Techno Park (DISTP) UI Ahmad Gamal SArs MSi MUP PhD melaporkan, webinar ini merupakan kulminasi dari seluruh aktivitas UI yang terkait dengan persiapan Vaksin Merah Putih, terutama yang dikembangkan oleh sivitas akademika UI. Seluruh kegiatan ini mendapat dukungan penuh Kemenristek melalui pendanaan konsorsium riset Covid-19.
Pembicara pertama, Budiman Bela, memaparkan presentasi berjudul “Platform Vaksin Covid-19 Merah Putih: Dasar Pemilihan Platform serta Tantangan dalam Pengembangan & Hilirisasi”. Menurutnya, saat ini UI mengembangkan penelitian terkait 4 platform pengembangan vaksin, yaitu deoxyribo nucleic acid (DNA), ribonukleat acid (RNA), subunit rekombinan, dan VLP.
“Sampai saat ini, vaksin DNA yang UI kembangkan sudah pada tahap uji coba pada hewan, dan sebentar lagi akan masuk tahap stabilitas dan efisiensi produksi. Diharapkan setelah itu, vaksin DNA ini bisa segera memasuki tahap uji pre-klinik, sedangkan platform vaksin yang lain masih pada tahap perancangan dan konstruksi,” ungkapnya.
Masing-masing jenis platform ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, tapi kita sebagai sebuah negara pada akhirnya tetap harus memilih. Menurut Budiman Bela, banyak faktor yang harus dipertimbangkan ketika memilih suatu platform vaksin, di antaranya tingkat perlindungan, tingkat efektivitas, keamanan, serta tingkat kemudahan proses produksi (manufaktur) dan distribusinya.