Ketua Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI) Prof Harkristuti Harkrisnowo SH MA PhD, mengatakan bahwa isu ketahanan pangan dan perbaikan gizi menjadi persoalan krusial karena berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

“Indonesia nampaknya harus belajar dari negara-negara tetangga kita untuk bisa menyediakan lahan pertanian produktif, infrastruktur pertanian yang memadai, serta memastikan distribusi pangan yang merata, terutama saat terjadi permasalahan global—seperti perang Rusia dan Ukraina—yang memengaruhi ketahanan pangan Indonesia,” ujar Prof Harkristuti saat menyampaikan sambutan pada acara webinar yang diselenggarakan oleh Komisi IV (Pengembangan Peran Universitas Indonesia di Masyarakat) DGB UI.

Para Guru Besar Bicara Soal Kaitan Ketahanan Pangan, Gizi, dan Budaya Konsumsi.
Ketua Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI) Prof Harkristuti Harkrisnowo SH MA PhD.

Webinar bertema “Quo Vadis Ketahanan Pangan, Gizi, dan Budaya Konsumsi?” tersebut dihadiri juga oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Hilmar Farid PhD.

Para Guru Besar Bicara Soal Kaitan Ketahanan Pangan, Gizi, dan Budaya Konsumsi.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Hilmar Farid PhD.

Hilmar menyoroti permasalahan food waste dan foodless yang tinggi dan kualitas pangan yang rendah di Indonesia. Menurutnya, konsep pangan bijak mulai dari sektor produksi hingga pengelolaan limbah merupakan hal penting. Konsep ini memerlukan penguatan kebijakan dalam pengelolaan sistem pangan secara keseluruhan.

Dari sisi produksi, Indonesia mengalami homogenisasi bahan pangan pokok yang 50 persen berpusat pada empat jenis bahan pangan, yakni padi, gandum, jagung, dan kentang. Di sisi lain, tingkat konsumsi memiliki homogenisasi selera.

Desentralisasi pangan

Selama 30 tahun terakhir, pangan yang beragam sekarang terpusat ke beras. Ada catatan bahwa konsumsi gandum mengalahkan konsumsi beras, padahal kita tidak memproduksi gandum. “Masalah muncul ketika kita bergantung pada pangan tersebut,” ujar Hilmar.

Guna mengatasi hal ini, ia menilai perlu desentralisasi pangan berdasarkan diversifikasi pangan di Indonesia melalui penguatan pengetahuan dan kebudayaan lokal.

“Perguruan tinggi berperan sangat sentral bersama masyarakat di tingkat akar rumput untuk keperluan pangan. Oleh karena itu, perlu adanya pengenalan kembali produk-produk lokal, serta kolaborasi antara produsen pangan dan ahli gastronomi untuk menghasilkan karya yang dapat diterapkan di komunitas lokal,” tegas Hilmar.

Para Guru Besar Bicara Soal Kaitan Ketahanan Pangan, Gizi, dan Budaya Konsumsi.
Rektor Institut Pertanian Bogor Prof Dr Arif Satria SP MSi.

Pada acara tersebut, hadir pula tiga narasumber yang membahas seputar ketahanan pangan, budaya konsumsi, dan gizi masyarakat. Narasumber tersebut adalah Rektor Institut Pertanian Bogor Prof Dr Arif Satria SP MSi; Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI Prof Dr Semiarto Aji Purwanto; serta Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof Dr drg Sandra Fikawati MPH.

Menurut Prof Arif, permasalahan pangan ini memiliki triple burden, yakni underweight, overweight, dan micronutrient deficiency. Kondisi ketahanan pangan di Indonesia juga dapat dilihat secara kuantitatif melalui peta Indeks Ketahanan Pangan (IKP).

Pada 2021, Bali, Jawa Tengah, dan Yogyakarta menjadi tiga provinsi yang memiliki IKP tertinggi, sedangkan Kepulauan Riau, Maluku Utara, dan Maluku memiliki IKP terendah di Indonesia.

Baca juga: Webinar DGB UI: Etika Penggunaan ChatGPT di Lingkungan Akademik